DASAR TEORI
DYSPEPSIA
A.
Definsi
Dyspepsia
Dispepsia merupakan kumpulan
keluhan/ gejala klinis yang terdiri dari
rasa tidak enak/ sakit di perut
bagian atas yang menetap atau mengalami kekambuhan keluhan refluks
gastroesofagus klasik berupa rasa panas di dada (heartburn) dan regurgitasi
asam lambung kini tidak lagi termasuk dispepsia). Batas dispepsia terbagi atas
dua yaitu:
1. Dispepsia organik,
bila telah diketahui adanya kelainan organik sebagai penyebabnya.
2. Dispepsia non
organik, atau dispepsia fungsional, atau dispepsia non ulkus (DNU), bila tidak
jelas penyebabnya.
Dalam
referensi, cukup banyak definisi untuk dispepsia. Misalnya istilah ini
dikaitkan dengan keluhan yang berhubungan dengan makan, atau keluhan yang oleh
pasien mataupun dokternya dikaitkan dengan gangguan saluran cerna bagian atas.
Dalam konsensus Roma II tahun 2000, disepakati bahwa definisi dispepsia sebagai
berikut; Dyspepsia refers to pain or discomfort centered in the upper abdomen.
Formtlasi keluhan nyeri atau tidak nyaman menjadi suatu yang relatif, terlebih
lagi bila diekspresikan dalam bahasa yang berbeda. Jadi disini diperlukan
sekali komunikasi yang baik dalam anamnesis sehingga seorang dokter dapat
menangkap apa yang dirasakan pasien dan mempunyai persepsi yang relatif sama.
Dalam definisi, lamanya keluhan tidak ditetapkan. Hanya tentunya untuk
keperluan suatu penelitian hal ini perlu ditetapkan.
Seperti
dikemukakan diatas bahwa kasus dispepsia setelah eksplorasi penunjang
diagnostik, akan terbukti apakah disebabkan gangguan patologis organik atau
bersifat fungsional. Dalam konsensus Roma III (tahun 2006) yang khusus
membicarakan tentang kelainan gastrointestinal fungsional, dispepsia fungsional
didefinisikan sebagai;
1. Adanya
satu atau lebih keluhan rasa penuh setelah makan, cepat kenyang, nyeri ulu hati
lepigaskik, rasa terbakar di epigastrium.
2. Tidak
ada bukti kelainan struktural (termasuk didalamnya pemeriksaan endoskopi
saluran cerna bagian atas) yang dapat menerangkan penyebab keluhan tersebut.
3. Keluhan
ini teradi selama 3 bulan dalam wakhr 6 bulan terakhir sebelum diagnosis
ditegakkan.
Jadi
disini ada batasan waktu yang ditujukan untuk meminimalisasikan kemungkinan
adanya penyebab organik. Seperti dalam algoritme penanganan dispepsia, bahwa
bila ada alarm symploms seperti penurunan berat badan, timbulnya anemia,
melena, muntah yang prominen, maka merupakan petunjuk awal akan kemungkinan
adanya penyebab organik yang membutuhkan pemeriksaan penunjang diagnostik
secara lebih intensif seperti endoskopi dan sebagainya. Dalam usaha untuk
mencoba kearah praktis pengobatan, dispepsia fungsional ini dibagi menjadi 3
kelompok yaitu;
1. Dispepsia
tipe seperti ulkus, dimana yang lebih dominan adalah nyeri epigastrik.
2. Dispepsia
tipe seperti dismotilitas, dimana yang lebih dominan adalah keluhan kembung,
mual, muntah, rasa penuh, cepat kenyang.
3. Dispepsia
tipe non-spesifik, dimana tidak ada keluhan yang dominan.
B.
Anatomi dan
Fisiologi Lambung
1.
Anatomi
Lambung terletak oblik dari kiri ke kanan menyilang di abdomen atas tepat
dibawah diafragma. Dalam keadaan kosong lambung berbentuk tabung J, dan bila
penuh berbentuk seperti buah alpukat raksasa. Kapasitas normal lambung 1 sampai
2 liter. Secara anatomis lambung terbagi atas fundus, korpus dan antrum
pilorus. Sebelah atas lambung terdapat cekungan kurvatura minor, dan bagian
kiri bawah lambung terdapat kurvatura mayor. Sfingter kedua ujung lambung
mengatur pengeluaran dan pemasukan. Sfingter kardia atau sfingter esofagus
bawah, mengalirkan makanan yang masuk kedalam lambung dan mencegah refluks isi
lambung memasuki esofagus kembali. Daerah lambung tempat pembukaan sfingter
kardia dikenal dengan nama daerah kardia. Disaat sfingter pilorikum berelaksasi
makanan masuk kedalam duodenum, dan ketika berkontraksi sfingter ini akan
mencegah terjadinya aliran balik isis usus halus kedalam lambung.
Lambung terdiri
dari empat lapisan yaitu :
1. Lapisan peritoneal luar yang merupakan
lapisan serosa.
2. Lapisan berotot yang terdiri atas 3
lapisan :
a.
Serabut
longitudinal, yang tidak dalam dan bersambung dengan otot esophagus.
b.
Serabut
sirkuler yang palig tebal dan terletak di pylorus serta membentuk otot
sfingter, yang berada dibawah lapisan pertama.
c.
Serabut
oblik yang terutama dijumpai pada fundus lambunh dan berjalan dari orivisium
kardiak, kemudian membelok kebawah melalui kurva tura minor (lengkung
kelenjar).
3. Lapisan submukosa yang terdiri atas
jaringan areolar berisi pembuluh darah dan saluran limfe.
4. Lapisan mukosa yang terletak disebelah
dalam, tebal, dan terdiri atas banyak kerutan/ rugae, yang menghilang bila
organ itu mengembang karena berisi makanan. Ada beberapa tipe kelenjar pada
lapisan ini dan dikategorikan menurut bagian anatomi lambung yang ditempatinya.
Kelenjar kardia berada dekat orifisium kardia. Kelenjar ini mensekresikan
mukus. Kelenjar fundus atau gastric terletak di fundus dan pada hampir selurus
korpus lambung. Kelenjar gastrik memiliki tipe-tipe utama sel. Sel-sel zimognik
atau chief cells mensekresikan pepsinogen. Pepsinogen diubah menjadi pepsin
dalam suasana asam. Sel-sel parietal mensekresikan asam hidroklorida dan faktor
intrinsik. Faktor intrinsik diperlukan untuk absorpsi vitamin B 12 di dalam
usus halus. Kekurangan faktor intrinsik akan mengakibatkan anemia pernisiosa.
Sel-sel mukus (leher) ditemukan dileher fundus atau kelenjar-kelenjar gastrik.
Sel-sel ini mensekresikan mukus. Hormon gastrin diproduksi oleh sel G yang
terletak pada pylorus lambung. Gastrin merangsang kelenjar gastrik untuk menghasilkan
asam hidroklorida dan pepsinogen. Substansi lain yang disekresikan oleh lambung
adalah enzim dan berbagai elektrolit, terutama ion-ion natrium, kalium, dan
klorida.
Persarafan
lambung sepenuhnya otonom. Suplai saraf parasimpatis untuk lambung dan duodenum
dihantarkan ke dan dari abdomen melalui saraf vagus. Trunkus vagus
mempercabangkan ramus gastrik, pilorik, hepatik dan seliaka. Pengetahuan
tentang anatomi ini sangat penting, karena vagotomi selektif merupakan tindakan
pembedahan primer yang penting dalam mengobati tukak duodenum.
Persarafan
simpatis adalah melalui saraf splenikus major dan ganlia seliakum.
Serabut-serabut aferen menghantarkan impuls nyeri yang dirangsang oleh
peregangan, dan dirasakan di daerah epigastrium. Serabut-serabut aferen simpatis
menghambat gerakan dan sekresi lambung. Pleksus saraf mesentrikus (auerbach)
dan submukosa (meissner) membentuk persarafan intrinsik dinding lambung dan
mengkordinasi aktivitas motoring dan sekresi mukosa lambung.
Seluruh suplai
darah di lambung dan pankreas (serat hati, empedu, dan limpa) terutama berasal
dari daerah arteri seliaka atau trunkus seliaka, yang mempecabangkan
cabang-cabang yang mensuplai kurvatura minor dan mayor. Dua cabang arteri yang
penting dalam klinis adalah arteri gastroduodenalis dan arteri pankreas
tikoduodenalis (retroduodenalis) yang berjalan sepanjang bulbus posterior
duodenum. Tukak dinding postrior duodenum dapat mengerosi arteria ini dan
menyebabkan perdarahan. Darah vena dari lambung dan duodenum, serta berasal
dari pankreas, limpa, dan bagian lain saluran cerna, berjalan kehati melalui
vena porta.
Berikut ini adalah
gambar anatomi lambung.
Esophagus
Cardiac sprinter
Fundus
Cardiac
Spinter Pilorus Body
Duodenum
Antrum Pylorus
Gambar 1. Anatomi
Lambung
2.
Fisiologi
Fisiologi Lambung :
a.
Mencerna makanan secara mekanikal.
b.
Sekresi, yaitu
kelenjar dalam mukosa lambung mensekresi 1500 – 3000 mL gastric juice
(cairan lambung) per hari. Komponene utamanya yaitu mukus, HCL (hydrochloric
acid), pensinogen, dan air. Hormon gastrik yang disekresi langsung masuk
kedalam aliran darah.
c.
Mencerna makanan secara kimiawi yaitu dimana
pertama kali protein dirobah menjadi polipeptida
d.
Absorpsi,
secara minimal terjadi dalam lambung yaitu absorpsi air, alkohol, glukosa, dan
beberapa obat.
e.
Pencegahan,
banyak mikroorganisme dapat dihancurkan
dalam lambung oleh HCL.
f.
Mengontrol
aliran chyme (makanan yang sudah dicerna dalam lambung) kedalam duodenum. Pada
saat chyme siap masuk kedalam duodenum,
akan terjadi peristaltik yang lambat yang berjalan dari fundus ke pylorus.
C.
Penyebab Dyspepsia
1.
Perubahan pola makan
2.
Pengaruh obat-obatan yang dimakan secara berlebihan dan
dalam waktu yang lama
3.
Alkohol dan nikotin rokok
4.
Stres
5.
Tumor atau kanker saluran pencernaan
Sedangkan penyebab dyspepsia menurut buku Djojoningrat,
Dharmika tahun 2012 tentang Gastroenterologi Dispepsia Fungsional, adalah:
D.
Insiden
Dyspepsia
Keluhan
dispepsia merupakan keadaan klinik yang sering dijumpai dalam praktek praktis
sehari-hari. Diperkirakan bahwa hampir 30% kasus pada praktek umum dan 60% pada
praktek gastroenterologist merupakan kasus dispepsia ini. Istilah dispepsia
mulai gencar dikemukakan sejak akhir tahun 80-an, yang menggambarkan keluhan
atau kumpulan gejala (sindrom) yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman
di epigastrium, mual, muntah, kembung, cepat kenyang, rasa perut penuh, sendawa,
regurgitasi dan rasa panas yang menjalar di dada. Sindroma atau keluhan ini
dapat disebabkan atau didasari oleh berbagai penyakit, tentunya termasuk pula
penyakit pada lambung, yang diasumsikan oleh orang awam sebagai penyakit maag
lambung. Penyakit hepato-pancreato-bilier (hepatitis, pankreatitis kronik,
kolesistitis kronik dll) merupakan penyakit tersering setelah penyakit yang
melibatkan gangguan patologik pada esogafo-gastro-duodenal (tukak peptik,
gastritis dll). Beberapa penyakit diluar sistem gastrointestinal dapat pula
bermanifest dalam bentuk sindrom dispepsia, seperti yang cukup kita harus
waspadai adalah gangguan kardiak (inferior iskemia/ infark miokard), penyakit
tiroid, obat-obatan dan sebagainya
E.
Patofisiologi
Dyspepsia
Berbagai
hipotesis mekanisme telah diajukan untuk menerangkan patogenesis terjadinya
gangguan ini. Proses patofisiologik yang paling banyak dibicarakan dan potensial
berhubungan dengan dispepsia fungsional adalah; Hipotesis asam lambung dan
inflamasi, hipotesis gangguan motorik, hipotesis hipersensitivitas viseral,
serta hipotesis tentang adanya gangguan psikologik atau psikiatrik.
1. Sekresi
Asam Lambung
Kasus dengan dispepsia fungsional,
umumnya mempunyai tingkat sekresi asam lambung, baik sekresi basal maupun
dengan stimulasi pentagastrin, yatg rata-rata normal. Diduga adanya peningkatan
sensitivitas mukosa lambung terhadap asam yang menimbulkan rasa tidak enak
diperut.
2. HeIicobacter
pyIori (Hp)
Peran infeksi Helicobacter pylori pada
dispepsia fungsional belum sepenuhnya dimengerti dan diterima. Dari berbagai
laporan kekerapan Hp pada dispepsia fungsional sekitar 50% dan tidak berbeda
bermakna dengan angka kekerapan Hp pada kelompok orang sehat. Memang mulai ada
kecenderungan untuk melakukan eradikasi Hp pada dispepsia fungsional dengan Hp
positif yang gagal dengan pengobatan konservatif baku.
3. Dismotilitas
Gastrointestinal
Berbagai studi melaporkan bahwa pada
dispepsia fungsional terjadi perlambatan pengosongan lambung, adanya
hipomotilitas antrum (sampai 50% kasus), gaangguan akomodasi lambung waktu
makan, disritmia gaster dan hipersensitivitas viseral. Salah satu dari keadaan
ini dapat ditemukan pada setengah sampai duapertiga kasus dispepsia fungsional.
Perlambatan pengosongan lambung terjadi pada 25-80% kasus dispepsia fungsional,
tetapi tidak ada korelasi antara beratnya keluhan dengan derajat perlambatan
pengosongan lambung. Pemeriksaan manometri antro-duodenal memperlihatkan adanya
abnormalitas dalam bentuk post antral hipomotilitas prandial, disamping juga
ditemukannya disfungsi motorik usus halus. Perbedaan patofisiologi ini diduga
yang mendasari perbedaan pola keluhan dan akan mempengaruhi pola pikir
pengobatanyang akan diambil. Pada kasus dispepsia fungsional yang mengalami
perlambatan pengosongan lambung berkorelasi dengan keluhan mual, muntah dan
rasa penuh di ulu hati. Sedangkan kasus dengan hipersensitivitas terhadap
distensi lambung biasanya kan mengeluh nyeri, sendawa dan adanya penurunan
berat badan. Rasa cepat kenyang ditemukan pada kasus yang mengalami gangguan
akomodasi lambung waktu makan. Pada keadaan normal, waktu makanan masuk lambung
terjadi relaksasi fundus dan korpus gaster tanpa meningkatkan tekanan dalam
lambung. Dilaporkan bahwa pada penderita dispepsia fungsional terjadi penurunan
kemampuan relaksasi fundus post prandial pada 40% kasus. Konsep ini yang
mendasari adanya pembagian sub grup dispepsia fungsional menjadi tipe dismotilitas,
tipe seperti ulkus dan tipe campuran.
4. Ambang
Rangsang Persepsi
Dinding usus mempunyai berbagai
reseptor, termasuk reseptor kimiawi, reseptor mekanik dan no ciceptor. Dalam
studi tampaknya kasus dispepsia ini mempunyai hipersensitivitas viseral
terhadap distensi balon di gaster atau duodenum. Bagaimana mekanismenya, masih
belum dipahami. Penelitian dengan menggunakan balon intragastrik didapatkan
hasil bahwa 50% populasi dispepsia fungsional sudah timbul rasa nyeri atau
tidak nyaman diperut pada inflasi balon dengan volume yang lebih rendah
dibandingkan volume yang menimbulkan rasa nyeri pada populasi kontrol.
5. Disfungsi
Autonom
Disfungsi persyarafan vagal diduga
berperan dalam hipersensitivitas gastrointestinal pada kasus dispepsia
fungsional. Adanya neuropati vagal juga diduga berperan dalam kegagalan
relaksasi bagian proksimal lambung waktu menerima makanan, sehingga menimbulkan
gangguan akomodasi lambung dan rasa cepat kenyang.
6. Aktivitas
Mioelektrik Lambung
Adanya disritmia mioelektrik lambung
pada pemeriksaan elektrogastrografi berupa tachygastria, bradygastria pada
lebih kurang 40% kasus dispepsia fungsional, tapi hal ini bersifat inkonsisten.
7. Hormonal
Peran hormonal belum jelas dalam
patogenesis dispepsia fungsional. Dilaporkan adanya penurunan kadar hormon
motilin yang menyebabkan gangguan motilitas antroduodenal. Dalam beberapa
percobaan, progesteron, estradiol dan prolaktin mempengaruhi kontraktilitas
otot polos dan memperlambat waktu transit gastrointestinal.
8. Diet
dan faktor lingkungan
Adanya intoleransi makanan dilaporkan
lebih sering terjadi pada kasus dispepsia fungsional dibandingkan kasus kontrol.
9. Psikologis
Adanya stres akut dapat mempengaruhi
fungsi gastrointestinal dan mencetuskan keluhan pada orang sehat. Dilaporkan
adanya adanya penurunan kontraktilitas lambung yang mendahului keluhan mual
setelah stimulus stres sentral. Tapi korelasi antara faktor psikologik stres
kehidupan, fungsi otonom dan motilitas tetap masih kontroversial. Tidak
didapatkan personaliti yang karakteristik untuk kelompok dispepsia fungsional
ini dibandingkan kelompok kontrol. Walaupun dilaporkan dalam studi terbatas
adanya kecenderungan pada pada kasus dispepsia fungsional terdapat masa kecil
yang tidak bahagia, adanya sexual abuse, atau adanya gangguan psikiatrik.
F.
Gambaran
Klinis Dyspepsia
Karena
bervariasinya jenis keluhan dan kuantitas/ kualitasnya pada setiap pasien, maka
banyak mengklasifikasi dispepsia fungsional menjadi beberapa subgrup didasarkan
pada keluhan yang paling mencolok/ dominan.
1. Bila
nyeri ulu hati yang dominan dan disertai nyeri pada malam hari dikategorikan
sebagai dispepsia fungsional tipe seperti ulkus (ulcer like dyspepsia)
2. Bila
kembung, mual, cepat kenyang merupakan keluhan yang paling sering dikemukakan,
dikategorikan sebagai dispepsia fungsional tipe seperti dismotilitas (dismotility
like dyspepsia)
3. Bila
tidak ada keluhan yang bersifat dominan dikategorikan sebagai dispepsia
non-spesifik.
Perlu
ditekankan bahwa pengelompokan tersebut hanya untuk mempermudah diperoleh
gambaran klinis pasien yang kita hadapi serta pemilihan alternatif pengobatan
awalnya.
G.
Penunjang
Diagnostik Dyspepsia
Pada
dasarnya langkah pemeriksaan penunjang diagnostik adalah untuk mengeksklusi
gangguan organik atau biokimiawi. Pemeriksaan laboratorium (gula darah, fungsi
tiroid, fungsi pankreas dsb), radiologi (barium meal, USG) dan endoskopi
merupakan langkah yang paling penting untuk eksklusi penyebab organik ataupun
biokimiawi. Untuk menilai patofisiologinya, dalam rangka mencari dasar terapi
yang lebih kausatif, berbagai pemeriksan dapat dilakukan, walaupun aplikasi
klinisnya tidak jarang dinilai masih kontroversi. Misalnya pemeriksaan pH-metri
untuk menilai tingkat sekresi asam lambung, manometri untuk menilai adanya gangguan
fase III Migrating Motor Complex, elektrogastrografi, skintigrafratat
penggunaan pellet radioopak untuk mengukur waktu pengosongan lambung, Helicobacter
pylori, dsb.
Untuk memastikan penyakitnya,
maka perlu dilakukan beberapa pemeriksaan, selain pengamatan jasmani, juga
perlu diperiksa : laboratorium, radiologis, endoskopi, USG, dan lain-lain.
1. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium perlu dilakukan lebih banyak ditekankan untuk
menyingkirkan penyebab organik lainnya seperti: pankreatitis kronik, diabets
mellitus, dan lainnya. Pada dispepsia fungsional biasanya hasil laboratorium
dalam batas normal.
2. Radiologis
Pemeriksaan radiologis banyak menunjang dignosis suatu penyakit di saluran
makan. Setidak-tidaknya perlu dilakukan pemeriksaan radiologis terhadap saluran
makan bagian atas, dan sebaiknya menggunakan kontras ganda.
3. Endoskopi
(Esofago-Gastro-Duodenoskopi)
Sesuai dengan definisi bahwa pada dispepsia fungsional, gambaran
endoskopinya normal atau sangat tidak spesifik.
4. USG (Ultrasonografi)
Merupakan diagnostik yang tidak invasif, akhir-akhir ini makin banyak
dimanfaatkan untuk membantu menentukan diagnostik dari suatu penyakit, apalagi
alat ini tidak menimbulkan efek samping, dapat digunakan setiap saat dan pada
kondisi klien yang beratpun dapat dimanfaatkan
5. Waktu Pengosongan
Lambung
Dapat dilakukan dengan scintigafi atau dengan pellet radioopak. Pada
dispepsia fungsional terdapat pengosongan lambung pada 30 – 40 % kasus.
H.
Pencegahan
Dyspepsia
Pola makan yang normal dan
teratur, pilih makanan yang seimbang dengan kebutuhan dan jadwal makan yang
teratur, sebaiknya tidak mengkomsumsi makanan yang berkadar asam tinggi, cabai,
alkohol, dan pantang rokok, bila harus makan obat karena sesuatu penyakit,
misalnya sakit kepala, gunakan obat secara wajar dan tidak mengganggu fungsi
lambung.
I.
Penatalaksanaan
Medik Dyspepsia
1. Penatalaksanaan non
farmakologis
a. Menghindari makanan
yang dapat meningkatkan asam lambung
b. Menghindari faktor
resiko seperti alkohol, makanan yang peda, obat-obatan yang berlebihan, nikotin
rokok, dan stres
c. Atur pola makan
2. Penatalaksanaan
farmakologis yaitu:
Sampai saat ini belum ada regimen pengobatan yang memuaskan terutama dalam
mengantisipasi kekambuhan. Hal ini dapat dimengerti karena pross
patofisiologinya pun masih belum jelas.
Obat-obatan yang diberikan meliputi antacid (menetralkan asam lambung)
golongan antikolinergik (menghambat pengeluaran asam lambung) dan prokinetik
(mencegah terjadinya muntah).
Berikut
alur tatalaksana ringkas diagnosis pada kasus dyspepsia menurut buku Cook GC.
Problem Gastroenterologi Daerah Tropis. In: Salim IV, Bani AP, Editors.
DAFTAR PUSTAKA
Cook
GC. 1991. Problem Gastroenterologi Daerah
Tropis. In: Salim IV, Bani AP, Editors. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC
Djojoningrat,
Dharmika. 2012. Gastroenterologi
Dispepsia Fungsional. Jakarta: EGC
Tidak ada komentar:
Posting Komentar