expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Ngiklan

Senin, 04 Maret 2019

DASAR TEORI BALITA SAKIT DYSPEPSIA


DASAR TEORI
DYSPEPSIA

A.    Definsi Dyspepsia
Dispepsia merupakan kumpulan keluhan/ gejala klinis yang terdiri dari rasa tidak enak/ sakit di perut bagian atas yang menetap atau mengalami kekambuhan keluhan refluks gastroesofagus klasik berupa rasa panas di dada (heartburn) dan regurgitasi asam lambung kini tidak lagi termasuk dispepsia). Batas dispepsia terbagi atas dua yaitu:
1.      Dispepsia organik, bila telah diketahui adanya kelainan organik sebagai penyebabnya.
2.      Dispepsia non organik, atau dispepsia fungsional, atau dispepsia non ulkus (DNU), bila tidak jelas penyebabnya.
Dalam referensi, cukup banyak definisi untuk dispepsia. Misalnya istilah ini dikaitkan dengan keluhan yang berhubungan dengan makan, atau keluhan yang oleh pasien mataupun dokternya dikaitkan dengan gangguan saluran cerna bagian atas. Dalam konsensus Roma II tahun 2000, disepakati bahwa definisi dispepsia sebagai berikut; Dyspepsia refers to pain or discomfort centered in the upper abdomen. Formtlasi keluhan nyeri atau tidak nyaman menjadi suatu yang relatif, terlebih lagi bila diekspresikan dalam bahasa yang berbeda. Jadi disini diperlukan sekali komunikasi yang baik dalam anamnesis sehingga seorang dokter dapat menangkap apa yang dirasakan pasien dan mempunyai persepsi yang relatif sama. Dalam definisi, lamanya keluhan tidak ditetapkan. Hanya tentunya untuk keperluan suatu penelitian hal ini perlu ditetapkan.
Seperti dikemukakan diatas bahwa kasus dispepsia setelah eksplorasi penunjang diagnostik, akan terbukti apakah disebabkan gangguan patologis organik atau bersifat fungsional. Dalam konsensus Roma III (tahun 2006) yang khusus membicarakan tentang kelainan gastrointestinal fungsional, dispepsia fungsional didefinisikan sebagai;
1.      Adanya satu atau lebih keluhan rasa penuh setelah makan, cepat kenyang, nyeri ulu hati lepigaskik, rasa terbakar di epigastrium.
2.      Tidak ada bukti kelainan struktural (termasuk didalamnya pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas) yang dapat menerangkan penyebab keluhan tersebut.
3.      Keluhan ini teradi selama 3 bulan dalam wakhr 6 bulan terakhir sebelum diagnosis ditegakkan.
Jadi disini ada batasan waktu yang ditujukan untuk meminimalisasikan kemungkinan adanya penyebab organik. Seperti dalam algoritme penanganan dispepsia, bahwa bila ada alarm symploms seperti penurunan berat badan, timbulnya anemia, melena, muntah yang prominen, maka merupakan petunjuk awal akan kemungkinan adanya penyebab organik yang membutuhkan pemeriksaan penunjang diagnostik secara lebih intensif seperti endoskopi dan sebagainya. Dalam usaha untuk mencoba kearah praktis pengobatan, dispepsia fungsional ini dibagi menjadi 3 kelompok yaitu;
1.      Dispepsia tipe seperti ulkus, dimana yang lebih dominan adalah nyeri epigastrik.
2.      Dispepsia tipe seperti dismotilitas, dimana yang lebih dominan adalah keluhan kembung, mual, muntah, rasa penuh, cepat kenyang.
3.      Dispepsia tipe non-spesifik, dimana tidak ada keluhan yang dominan.

B.   Anatomi dan Fisiologi Lambung
1.     Anatomi
Lambung terletak oblik dari kiri ke kanan menyilang di abdomen atas tepat dibawah diafragma. Dalam keadaan kosong lambung berbentuk tabung J, dan bila penuh berbentuk seperti buah alpukat raksasa. Kapasitas normal lambung 1 sampai 2 liter. Secara anatomis lambung terbagi atas fundus, korpus dan antrum pilorus. Sebelah atas lambung terdapat cekungan kurvatura minor, dan bagian kiri bawah lambung terdapat kurvatura mayor. Sfingter kedua ujung lambung mengatur pengeluaran dan pemasukan. Sfingter kardia atau sfingter esofagus bawah, mengalirkan makanan yang masuk kedalam lambung dan mencegah refluks isi lambung memasuki esofagus kembali. Daerah lambung tempat pembukaan sfingter kardia dikenal dengan nama daerah kardia. Disaat sfingter pilorikum berelaksasi makanan masuk kedalam duodenum, dan ketika berkontraksi sfingter ini akan mencegah terjadinya aliran balik isis usus halus kedalam lambung.
Lambung terdiri dari empat lapisan yaitu :
1.      Lapisan peritoneal luar yang merupakan lapisan serosa.
2.      Lapisan berotot yang terdiri atas 3 lapisan :
a.      Serabut longitudinal, yang tidak dalam dan bersambung dengan otot esophagus.
b.     Serabut sirkuler yang palig tebal dan terletak di pylorus serta membentuk otot sfingter, yang berada dibawah lapisan pertama.
c.      Serabut oblik yang terutama dijumpai pada fundus lambunh dan berjalan dari orivisium kardiak, kemudian membelok kebawah melalui kurva tura minor (lengkung kelenjar).
3.      Lapisan submukosa yang terdiri atas jaringan areolar berisi pembuluh darah dan saluran limfe.
4.      Lapisan mukosa yang terletak disebelah dalam, tebal, dan terdiri atas banyak kerutan/ rugae, yang menghilang bila organ itu mengembang karena berisi makanan. Ada beberapa tipe kelenjar pada lapisan ini dan dikategorikan menurut bagian anatomi lambung yang ditempatinya. Kelenjar kardia berada dekat orifisium kardia. Kelenjar ini mensekresikan mukus. Kelenjar fundus atau gastric terletak di fundus dan pada hampir selurus korpus lambung. Kelenjar gastrik memiliki tipe-tipe utama sel. Sel-sel zimognik atau chief cells mensekresikan pepsinogen. Pepsinogen diubah menjadi pepsin dalam suasana asam. Sel-sel parietal mensekresikan asam hidroklorida dan faktor intrinsik. Faktor intrinsik diperlukan untuk absorpsi vitamin B 12 di dalam usus halus. Kekurangan faktor intrinsik akan mengakibatkan anemia pernisiosa. Sel-sel mukus (leher) ditemukan dileher fundus atau kelenjar-kelenjar gastrik. Sel-sel ini mensekresikan mukus. Hormon gastrin diproduksi oleh sel G yang terletak pada pylorus lambung. Gastrin merangsang kelenjar gastrik untuk menghasilkan asam hidroklorida dan pepsinogen. Substansi lain yang disekresikan oleh lambung adalah enzim dan berbagai elektrolit, terutama ion-ion natrium, kalium, dan klorida.
Persarafan lambung sepenuhnya otonom. Suplai saraf parasimpatis untuk lambung dan duodenum dihantarkan ke dan dari abdomen melalui saraf vagus. Trunkus vagus mempercabangkan ramus gastrik, pilorik, hepatik dan seliaka. Pengetahuan tentang anatomi ini sangat penting, karena vagotomi selektif merupakan tindakan pembedahan primer yang penting dalam mengobati tukak duodenum.
Persarafan simpatis adalah melalui saraf splenikus major dan ganlia seliakum. Serabut-serabut aferen menghantarkan impuls nyeri yang dirangsang oleh peregangan, dan dirasakan di daerah epigastrium. Serabut-serabut aferen simpatis menghambat gerakan dan sekresi lambung. Pleksus saraf mesentrikus (auerbach) dan submukosa (meissner) membentuk persarafan intrinsik dinding lambung dan mengkordinasi aktivitas motoring dan sekresi mukosa lambung.
Seluruh suplai darah di lambung dan pankreas (serat hati, empedu, dan limpa) terutama berasal dari daerah arteri seliaka atau trunkus seliaka, yang mempecabangkan cabang-cabang yang mensuplai kurvatura minor dan mayor. Dua cabang arteri yang penting dalam klinis adalah arteri gastroduodenalis dan arteri pankreas tikoduodenalis (retroduodenalis) yang berjalan sepanjang bulbus posterior duodenum. Tukak dinding postrior duodenum dapat mengerosi arteria ini dan menyebabkan perdarahan. Darah vena dari lambung dan duodenum, serta berasal dari pankreas, limpa, dan bagian lain saluran cerna, berjalan kehati melalui vena porta.

Berikut ini adalah gambar anatomi lambung.
 

                                                Esophagus
                                        Cardiac sprinter
                                                                                                                   Fundus
                                                         Cardiac
           Spinter Pilorus                                                              Body
 


Duodenum
 

Antrum  Pylorus
Gambar 1. Anatomi Lambung
2.      Fisiologi
Fisiologi Lambung :
a.       Mencerna makanan secara mekanikal.
b.      Sekresi, yaitu  kelenjar dalam mukosa lambung mensekresi 1500 – 3000 mL gastric juice (cairan lambung) per hari. Komponene utamanya yaitu mukus, HCL (hydrochloric acid), pensinogen, dan air. Hormon gastrik yang disekresi langsung masuk kedalam aliran darah.
c.       Mencerna makanan secara kimiawi yaitu dimana pertama kali protein dirobah menjadi polipeptida 
d.      Absorpsi, secara minimal terjadi dalam lambung yaitu absorpsi air, alkohol, glukosa, dan beberapa obat.
e.       Pencegahan, banyak mikroorganisme  dapat dihancurkan dalam lambung oleh HCL.
f.       Mengontrol aliran chyme (makanan yang sudah dicerna dalam lambung) kedalam duodenum. Pada saat chyme  siap masuk kedalam duodenum, akan terjadi peristaltik yang lambat yang berjalan dari fundus ke pylorus.
C.    Penyebab Dyspepsia
1.      Perubahan pola makan
2.      Pengaruh obat-obatan yang dimakan secara berlebihan dan dalam waktu yang lama
3.      Alkohol dan nikotin rokok
4.      Stres
5.      Tumor atau kanker saluran pencernaan
Sedangkan penyebab dyspepsia menurut buku Djojoningrat, Dharmika tahun 2012 tentang Gastroenterologi Dispepsia Fungsional, adalah:

D.    Insiden Dyspepsia
Keluhan dispepsia merupakan keadaan klinik yang sering dijumpai dalam praktek praktis sehari-hari. Diperkirakan bahwa hampir 30% kasus pada praktek umum dan 60% pada praktek gastroenterologist merupakan kasus dispepsia ini. Istilah dispepsia mulai gencar dikemukakan sejak akhir tahun 80-an, yang menggambarkan keluhan atau kumpulan gejala (sindrom) yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman di epigastrium, mual, muntah, kembung, cepat kenyang, rasa perut penuh, sendawa, regurgitasi dan rasa panas yang menjalar di dada. Sindroma atau keluhan ini dapat disebabkan atau didasari oleh berbagai penyakit, tentunya termasuk pula penyakit pada lambung, yang diasumsikan oleh orang awam sebagai penyakit maag lambung. Penyakit hepato-pancreato-bilier (hepatitis, pankreatitis kronik, kolesistitis kronik dll) merupakan penyakit tersering setelah penyakit yang melibatkan gangguan patologik pada esogafo-gastro-duodenal (tukak peptik, gastritis dll). Beberapa penyakit diluar sistem gastrointestinal dapat pula bermanifest dalam bentuk sindrom dispepsia, seperti yang cukup kita harus waspadai adalah gangguan kardiak (inferior iskemia/ infark miokard), penyakit tiroid, obat-obatan dan sebagainya

E.     Patofisiologi Dyspepsia
Berbagai hipotesis mekanisme telah diajukan untuk menerangkan patogenesis terjadinya gangguan ini. Proses patofisiologik yang paling banyak dibicarakan dan potensial berhubungan dengan dispepsia fungsional adalah; Hipotesis asam lambung dan inflamasi, hipotesis gangguan motorik, hipotesis hipersensitivitas viseral, serta hipotesis tentang adanya gangguan psikologik atau psikiatrik.
1.      Sekresi Asam Lambung
Kasus dengan dispepsia fungsional, umumnya mempunyai tingkat sekresi asam lambung, baik sekresi basal maupun dengan stimulasi pentagastrin, yatg rata-rata normal. Diduga adanya peningkatan sensitivitas mukosa lambung terhadap asam yang menimbulkan rasa tidak enak diperut.
2.      HeIicobacter pyIori (Hp)
Peran infeksi Helicobacter pylori pada dispepsia fungsional belum sepenuhnya dimengerti dan diterima. Dari berbagai laporan kekerapan Hp pada dispepsia fungsional sekitar 50% dan tidak berbeda bermakna dengan angka kekerapan Hp pada kelompok orang sehat. Memang mulai ada kecenderungan untuk melakukan eradikasi Hp pada dispepsia fungsional dengan Hp positif yang gagal dengan pengobatan konservatif baku.
3.      Dismotilitas Gastrointestinal
Berbagai studi melaporkan bahwa pada dispepsia fungsional terjadi perlambatan pengosongan lambung, adanya hipomotilitas antrum (sampai 50% kasus), gaangguan akomodasi lambung waktu makan, disritmia gaster dan hipersensitivitas viseral. Salah satu dari keadaan ini dapat ditemukan pada setengah sampai duapertiga kasus dispepsia fungsional. Perlambatan pengosongan lambung terjadi pada 25-80% kasus dispepsia fungsional, tetapi tidak ada korelasi antara beratnya keluhan dengan derajat perlambatan pengosongan lambung. Pemeriksaan manometri antro-duodenal memperlihatkan adanya abnormalitas dalam bentuk post antral hipomotilitas prandial, disamping juga ditemukannya disfungsi motorik usus halus. Perbedaan patofisiologi ini diduga yang mendasari perbedaan pola keluhan dan akan mempengaruhi pola pikir pengobatanyang akan diambil. Pada kasus dispepsia fungsional yang mengalami perlambatan pengosongan lambung berkorelasi dengan keluhan mual, muntah dan rasa penuh di ulu hati. Sedangkan kasus dengan hipersensitivitas terhadap distensi lambung biasanya kan mengeluh nyeri, sendawa dan adanya penurunan berat badan. Rasa cepat kenyang ditemukan pada kasus yang mengalami gangguan akomodasi lambung waktu makan. Pada keadaan normal, waktu makanan masuk lambung terjadi relaksasi fundus dan korpus gaster tanpa meningkatkan tekanan dalam lambung. Dilaporkan bahwa pada penderita dispepsia fungsional terjadi penurunan kemampuan relaksasi fundus post prandial pada 40% kasus. Konsep ini yang mendasari adanya pembagian sub grup dispepsia fungsional menjadi tipe dismotilitas, tipe seperti ulkus dan tipe campuran.
4.      Ambang Rangsang Persepsi
Dinding usus mempunyai berbagai reseptor, termasuk reseptor kimiawi, reseptor mekanik dan no ciceptor. Dalam studi tampaknya kasus dispepsia ini mempunyai hipersensitivitas viseral terhadap distensi balon di gaster atau duodenum. Bagaimana mekanismenya, masih belum dipahami. Penelitian dengan menggunakan balon intragastrik didapatkan hasil bahwa 50% populasi dispepsia fungsional sudah timbul rasa nyeri atau tidak nyaman diperut pada inflasi balon dengan volume yang lebih rendah dibandingkan volume yang menimbulkan rasa nyeri pada populasi kontrol.
5.      Disfungsi Autonom
Disfungsi persyarafan vagal diduga berperan dalam hipersensitivitas gastrointestinal pada kasus dispepsia fungsional. Adanya neuropati vagal juga diduga berperan dalam kegagalan relaksasi bagian proksimal lambung waktu menerima makanan, sehingga menimbulkan gangguan akomodasi lambung dan rasa cepat kenyang.
6.      Aktivitas Mioelektrik Lambung
Adanya disritmia mioelektrik lambung pada pemeriksaan elektrogastrografi berupa tachygastria, bradygastria pada lebih kurang 40% kasus dispepsia fungsional, tapi hal ini bersifat inkonsisten.
7.      Hormonal
Peran hormonal belum jelas dalam patogenesis dispepsia fungsional. Dilaporkan adanya penurunan kadar hormon motilin yang menyebabkan gangguan motilitas antroduodenal. Dalam beberapa percobaan, progesteron, estradiol dan prolaktin mempengaruhi kontraktilitas otot polos dan memperlambat waktu transit gastrointestinal.
8.      Diet dan faktor lingkungan
Adanya intoleransi makanan dilaporkan lebih sering terjadi pada kasus dispepsia fungsional dibandingkan kasus kontrol.
9.      Psikologis
Adanya stres akut dapat mempengaruhi fungsi gastrointestinal dan mencetuskan keluhan pada orang sehat. Dilaporkan adanya adanya penurunan kontraktilitas lambung yang mendahului keluhan mual setelah stimulus stres sentral. Tapi korelasi antara faktor psikologik stres kehidupan, fungsi otonom dan motilitas tetap masih kontroversial. Tidak didapatkan personaliti yang karakteristik untuk kelompok dispepsia fungsional ini dibandingkan kelompok kontrol. Walaupun dilaporkan dalam studi terbatas adanya kecenderungan pada pada kasus dispepsia fungsional terdapat masa kecil yang tidak bahagia, adanya sexual abuse, atau adanya gangguan psikiatrik.

F.     Gambaran Klinis Dyspepsia
Karena bervariasinya jenis keluhan dan kuantitas/ kualitasnya pada setiap pasien, maka banyak mengklasifikasi dispepsia fungsional menjadi beberapa subgrup didasarkan pada keluhan yang paling mencolok/ dominan.
1.      Bila nyeri ulu hati yang dominan dan disertai nyeri pada malam hari dikategorikan sebagai dispepsia fungsional tipe seperti ulkus (ulcer like dyspepsia)
2.      Bila kembung, mual, cepat kenyang merupakan keluhan yang paling sering dikemukakan, dikategorikan sebagai dispepsia fungsional tipe seperti dismotilitas (dismotility like dyspepsia)
3.      Bila tidak ada keluhan yang bersifat dominan dikategorikan sebagai dispepsia non-spesifik.
Perlu ditekankan bahwa pengelompokan tersebut hanya untuk mempermudah diperoleh gambaran klinis pasien yang kita hadapi serta pemilihan alternatif pengobatan awalnya.

G.    Penunjang Diagnostik Dyspepsia
Pada dasarnya langkah pemeriksaan penunjang diagnostik adalah untuk mengeksklusi gangguan organik atau biokimiawi. Pemeriksaan laboratorium (gula darah, fungsi tiroid, fungsi pankreas dsb), radiologi (barium meal, USG) dan endoskopi merupakan langkah yang paling penting untuk eksklusi penyebab organik ataupun biokimiawi. Untuk menilai patofisiologinya, dalam rangka mencari dasar terapi yang lebih kausatif, berbagai pemeriksan dapat dilakukan, walaupun aplikasi klinisnya tidak jarang dinilai masih kontroversi. Misalnya pemeriksaan pH-metri untuk menilai tingkat sekresi asam lambung, manometri untuk menilai adanya gangguan fase III Migrating Motor Complex, elektrogastrografi, skintigrafratat penggunaan pellet radioopak untuk mengukur waktu pengosongan lambung, Helicobacter pylori, dsb.
Untuk memastikan penyakitnya, maka perlu dilakukan beberapa pemeriksaan, selain pengamatan jasmani, juga perlu diperiksa : laboratorium, radiologis, endoskopi, USG, dan lain-lain.
1.      Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium perlu dilakukan lebih banyak ditekankan untuk menyingkirkan penyebab organik lainnya seperti: pankreatitis kronik, diabets mellitus, dan lainnya. Pada dispepsia fungsional biasanya hasil laboratorium dalam batas normal.
2.      Radiologis
Pemeriksaan radiologis banyak menunjang dignosis suatu penyakit di saluran makan. Setidak-tidaknya perlu dilakukan pemeriksaan radiologis terhadap saluran makan bagian atas, dan sebaiknya menggunakan kontras ganda.
3.      Endoskopi (Esofago-Gastro-Duodenoskopi)
Sesuai dengan definisi bahwa pada dispepsia fungsional, gambaran endoskopinya normal atau sangat tidak spesifik.
4.      USG (Ultrasonografi)
Merupakan diagnostik yang tidak invasif, akhir-akhir ini makin banyak dimanfaatkan untuk membantu menentukan diagnostik dari suatu penyakit, apalagi alat ini tidak menimbulkan efek samping, dapat digunakan setiap saat dan pada kondisi klien yang beratpun dapat dimanfaatkan
5.      Waktu Pengosongan Lambung
Dapat dilakukan dengan scintigafi atau dengan pellet radioopak. Pada dispepsia fungsional terdapat pengosongan lambung pada 30 – 40 % kasus.

H.    Pencegahan Dyspepsia
Pola makan yang normal dan teratur, pilih makanan yang seimbang dengan kebutuhan dan jadwal makan yang teratur, sebaiknya tidak mengkomsumsi makanan yang berkadar asam tinggi, cabai, alkohol, dan pantang rokok, bila harus makan obat karena sesuatu penyakit, misalnya sakit kepala, gunakan obat secara wajar dan tidak mengganggu fungsi lambung.

I.       Penatalaksanaan Medik Dyspepsia
1.      Penatalaksanaan non farmakologis
a.       Menghindari makanan yang dapat meningkatkan asam lambung
b.      Menghindari faktor resiko seperti alkohol, makanan yang peda, obat-obatan yang berlebihan, nikotin rokok, dan stres
c.       Atur pola makan
2.      Penatalaksanaan farmakologis yaitu:
Sampai saat ini belum ada regimen pengobatan yang memuaskan terutama dalam mengantisipasi kekambuhan. Hal ini dapat dimengerti karena pross patofisiologinya pun masih belum jelas.
Obat-obatan yang diberikan meliputi antacid (menetralkan asam lambung) golongan antikolinergik (menghambat pengeluaran asam lambung) dan prokinetik (mencegah terjadinya muntah).
Berikut alur tatalaksana ringkas diagnosis pada kasus dyspepsia menurut buku Cook GC. Problem Gastroenterologi Daerah Tropis. In: Salim IV, Bani AP, Editors.
 
 
DAFTAR PUSTAKA

Cook GC. 1991. Problem Gastroenterologi Daerah Tropis. In: Salim IV, Bani AP, Editors. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
Djojoningrat, Dharmika. 2012. Gastroenterologi Dispepsia Fungsional. Jakarta: EGC




Tidak ada komentar:

Posting Komentar