BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Islam adalah agama yang universal, karena itu masalah-masalah yang
ada dalam masyarakat sudah barang tentu diatur di dalam ajaran Islam. Kajian
tentang Al Quran serta kandungan ajarannya tampaknya tidak akan pernah selesai
dan akan berlanjut sepanjang zaman. Keajaibannya akan senantiasa muncul
kepermukaan bagaikan mata air yang tidak pernah kering dan akan selalu menjadi
inspirasi kehidupan ummat Islam. Al Quran akan selalu hadir dalam kehidupan
yang sarat dengan berbagai persoalan hidup yang dialami oleh umat Islam. Di
sinilah letak salah satu keunikan Al Quran itu dan dari sini kita dapat
memahami mengapa orang yang mempercayainya tidak akan pernah meragukan
validitas ajarannya dan menganggapnya sebagai kebenaran mutlak dan final meski
dipihak lain orang yang meragukan dan tidak mempercayainya selalu berupaya
untuk meruntuhkan kebenaran Al Quran baik dengan cara halus atau kasar,
dibungkus dengan metode ilmiah yang mengandung distorsi atau bahkan hanya
dengan hujatan, tanpa mengandung ilmiah yang layak dalam kajian akademis.
Islam sebagai agama rahmatan lil alamin sudah representatif untuk
mewujudkan pendidikan multikultural(beragam budaya). Budaya merupakan
Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat.
Dalam makalah ini, penulis akan membahas lebih jauh tentang Budaya
Akademik menurut Islam, Budaya Etos Kerja menurut Islam, Budaya Sikap Terbuka
dan Adil menurut Islam.
A. RUMUSAN MASALAH
1. Mengerti pengertian kebudayaan
dan pandangan Islam tentang kebudayaan.
2. Mengerti tentang akal, pikiran,
dan instuisi sebagai perangkat dalah aktifitas berbudaya.
3. Mengerti tentang aktifitas
berbudaya dalam kaitanya dengan Allah, sesama manusia, dan alam semesta.
4. Mengerti dan mau tanggung jawab
umat beragama dalam mewujudkan cara berpikir kritis (akademik), bekerja keras
dan bersikap fair.
B. TUJUAN
Penulisan
makalah ini bertujuan untuk mengetahui pengertian
kebudayaan dan pandangan Islam tentang kebudayaan.
Mengerti tentang akal, pikiran, dan
instuisi sebagai perangkat dalah aktifitas berbudaya.Mengerti tentang aktifitas
berbudaya dalam kaitanya dengan Allah, sesama manusia, dan alam
semesta.Mengerti dan mau tanggung jawab umat beragama dalam mewujudkan cara
berpikir kritis (akademik), bekerja keras dan bersikap fair.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Kebudayaan
Jika mengoleksi dan menelaah
mengenai definisi kebudayaan, tentu akan mendapatkan begitu banyak dan komplek
tentang pengertian kebudayaan, namun demikian dapat
dikelompokkan-sekurang-kurangnya ke dalam enam kelompok pendekatan.
1.
Pendekatan deskriptif dengan cara memerincikan kebudayaan. Kelompok ini, antara
lain Taylor, mengatakan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan konpleks yang
meliputi ilmu pengetahuan, kepercayaan, seni, hukum, moral, adat istiadat dan
berbagai kemampuan serta kebiasaan yang diterima manusia sebagai anggota
masyarakat (Kroiber & Kluchon, l952:43).
2.
Pendekatan historis dengan menekankan pada aspek penyesuaian diri dan proses
belajar. Kebudayaan adalah semua proses kelangsungan dan belajar suatu
masyarakat (Kroiber & Kluckhon, l952: 47).
3.
Pendekatan normatif dengan menekankan pada aspek peraturan, cara hidup, ide
atau nilai-nilai dan perilaku. Kebudayaan adalah suatu pandangan hidup dari
sekumpulan ide dan kebiasaan-kebiasan yang dipelajari, dimiliki kemudian
diwariskan dari generasi ke generasi. (Kroiber & Kluckhon,l952:50).
4.
Pendekatan historis dengan cara menekankan pada warisan sosial dan tradisi.
Kebudayaan adalah total dan warisan sosial yang diterima sabagai sesuatu yang
bermakna, yang dipengaruhi oleh watak dan sejarah hidup suatu bangsa (Kroiber
& Kluckhon, l954:47).
5.
Pendekatan struktural dengan menekankan pola dan organisasi kebudayaan.
Kebudayaan adalah pekerjaan dan kesatuan aktifitas sadar manusia dalam
membentuk pola umum dan melangsungkan penemuan-penemuan, baik yang material
maupun non material (ibid :6)
Dari berbagai pengertian kebudayaan
ini dapat dimengerti bahwa pengertian kebudayaan itu umat luas, namun semuanya
berpusat pada akal, pikiran dan hati manusia (Geertz, 1973:11) atau pendek kata
kebudayaan itu dari, oleh, dan untuk manusia yang dapat dilihat dari dua tahap
yaitu:
1. Tahap
proses yang mewujud dalam bentuk gagasan, pikiran, dan dan konsep
2. Tahap
produk yang mewujud dalam aktifitas dan benda-benda (Koentjaraningrat, 1974:15)
Kebudayaan juga dapat dilihat
sebagai jilmaan nilai umpama teori (ilmu), ekonomi, agama, seni, kuasa
(politik), dan solodaritas (sosial) (Syahbana, 1974:171-175). Dalam pengertian
ini ritual yamataso, yasinan, manaqiban, tahlilan dan sholawatan nariah,
mujahadah, istighosah, haji, masjid, syajadah, adalah jilmaan dari nilai-nilai
agama. Satu unit komputer pentium empat dapat dilihat sebagai jilmaan dari
berbagai nilai, ekonomi, ilmu dan teknologi, dan kekuasaan. Dari kompleksitas
kebudayaan ini dapat diringkas bahwa kebudayaan adalah kesatuan dan perbuatan
manusia yang menghasilkan suatu produk yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Realitas (kenyataan) apapun di alam
semesta, termasuk realitas sosial, cara beragama maupun kebudayaan senantiasa
berubah. Dalam hal ini Rasulullah bersabda:
ا لز ما ن قد ا ستد ر كهيئة يوم خلق ا لله ا لسموا ت و الا
رض... روه ا لبخا رى عن ا بى بكرة
(Zaman itu senantiasa berubah
seperti keadaan ketika Allah mencipta langit-langit dan bumi....HR. Bukhori
dari abi Mukroh)
Keberubahan kebudayaan itu pada
hakikatnya, adalah keberubahan ide, pikiran, dan gagasan manusia dalam
eksisitensinya hendak melestarikan, memperbaiki, dan menggantinya berbagai
produk agar manusia dapat menyempurnakan diri dalam kehidupanya yang senantiasa
tidak lepas dari perubahan. Dalam hal ini konflik kebudayaan dari lokal satu ke
yang lain, dari angkatan tua dan angkatan muda pasti terjadi. Namun begitu,
dari segi tinjauanmisi Islam, manusia bertanggung jawab atas gagasan,
perkataan, dan perbuatan (QS Al-A’raf/7:39) yaitu kemakmuran bersama sebagai
warga masyarakat, kemakmuran bumi atau kemakmuran ekosistem. Telah berfirman:
Artinya :
“ …Dia telah menciptakan kamu dari
bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya….” (QS. Hud : 61 ).
B. Pandangan Islam Tentang
Kebudayaan
Kata kebudayaan sebagai padanan culture
dalam bahasa Inggris tidak pernah akan ditemukan dalam bahasa Arab. Padanan
kebudayaan dalam bahasa Arab adalah as-Saqafah atau al-hadarah (Al-Munawwir,
1984:295). Kedua kata ini tidak ditemukan dalam Al-Qur’an. Al-Qur’an lebih
mementingkan amal dari pada gagasan (Iqbal, 1981:v), atau terminal terakhir
agama adalah amal - yaitu kesatuan antara gagasan dan perbuatan (Wach, 1966:27)
- dalam pengertian demikian amal identik dengan kebudayaan dalam arti proses.
Pendek kata, berawal dari gagasan hingga berakhirnya yaitu perbuatan.
1. Akal dan Fungsinya.
Akal ialah potensi ilmiah untuk
membedakan mana yang haq dan mana yang batil, mana yang benar dan yang salah,
mana yang hidayah dan yang sesat (Ibrahim Mazkur, 1979:120) dan penglihatanya
melebihi potensi indra. Di samping itu akal dapat mancegah gejolak hawa nafsu
(al-Ghazali, I [t.th]: 84/85), meskipun biasa juga sebaliknya, yaitu akal dan
hati (al-Qalb) justru di kuasai oleh hawa nafsu. Dalam hal ini Allah
berfirman:
Artinya :
“ Terangkanlah kepadaku tentang
orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya. Maka Apakah kamu dapat
menjadi pemelihara atasnya? “.( QS Al Furqan : 43).
Ketika hawa nafsu dapat menguasai
akal dan situasi atau menguasai eksistensi manusia secara utuh, menurut Islam
orang itu berubah eksistensinya menjadi non manusia, binatang, bahkan menjadi
eksistensi paling rendah, yaitu asfalasafilin: derajad yang serendah-rendahnya.
Artinya :
“ dan Sesungguhnya Kami jadikan
untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai
hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka
mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda
kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya
untuk mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan
mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah orang-orang yang lalai “. ( QS. Al A’raf
: 179 ).
Artinya :
“ kemudian Kami kembalikan Dia ke
tempat yang serendah-rendahnya (neraka) “ ( QS. At Tin : 5 ).
Dengan demikian dapat dipahami bahwa
nafsu itu bertempur secara terus menerus melawan akal dan hati. Mana yang dapat
memenangkan pertempuran itu, Dialah yang dapat mendesakkan untuk bebuat atau
beramal dan inilah yang disebut eksistensi atau hakikat kedirianya. Manusia
akan tetap eksistensinya sebagai manusia jika ia senantiasa diterangi oleh akal
dalam beramal atau berbudaya dan ia akan berubah menjadi non manusia jika nafsu
yang memenangi dalam berbuat atau beramal. Secara realitas eksistensi manusia
adalah amal.
Persoalan pokok adalah bagaimana
supaya akal dapat menguasai nafsu. Secara potensial dan naluriah akal dapat
membedakan mana yang benar dan yang salah. Agar akal dapat menguasai nafsu,
Allah telah memberi petunjuk kebenaran teradap akal. Jika akal mengindahkan
petunjuk Allah pastilah ia dapat menaklukan nafsu. Menurut Al quran, fungsi
akal cukup banyak, antara lain:
a. Untuk
memahami Al Quran, Allah telah berfirman:
Artinya :
“ Sesungguhnya Kami menurunkannya
berupa Al Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya “. ( QS. Yusuf : 2
).
b. Untuk
memmahami tanda-tanda kebesaran Allah
Artinya :
“ lalu Kami berfirman:
"Pukullah mayat itu dengan sebahagian anggota sapi betina itu !"
Demikianlah Allah menghidupkan kembali orang-orang yang telah mati, dam
memperlihatkan padamu tanda-tanda kekuasaanNya agar kamu mengerti “. (
QS. Al Baqarah : 73 ).
c. Untuk
memahami jika manusia tidak mau mengindahkan petunjuk Allah akibatnya adalah
Neraka tempat kembali. Allah berfirman:
Artinya :
“ dan mereka berkata:
"Sekiranya Kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya
tidaklah Kami Termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala". (َ QS Al Mulk 67
: 10 ).
d. Untuk
memahami proses dinamika kehidupan manusia, Allah berfirman:
Artinya :
“ Sesungguhnya dalam penciptaan
langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di
laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari
langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati
(kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran
angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat)
tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan “. ( QS. Al
Baqarah : 164 )
Dari ayat-ayat ini dapat dipahami
akal itu berfungsi untuk memahami realitas kongkrit dan realitas metafisis,
gejala alam, realitas gaib seperti kehidupan neraka, dan simbol-simbol
tanda-tanda kekuasaan Allah dan masih banyak fungsi lainnya. Demikian bagannya
:
Di muka pernah dijelaskan bahwa
realitas, termasuk kebudayaan, senantiasa berubah dan sementara itu kebudayaan
adalah buah dari aktualisasi akal. Dengan demikian eksistensi manusia adalah
menggagas, berpikir terus menerus dan selalu menghasilkan kebudayaan. Jadi
eksistensi manusia adalah berpikir dan beramal terus menerus. Berhenti sesaat,
saat itulah eksistensi berhenti.
2. Qalbu (Intuisi) dan fungsinya
Padanan qalbu dalam bahasa Indonesia
adalah hati (Al-Munawwir, 1984:1233) dan mempunyai pengertian:
a.
Bersifat fisik, yaitu bagian organ tubuh berada dalam dada sebelah kiri dan
merupakan salah satu sumber kehidupan.
b.
Bersifat immaterial, rohaniah, dapat menangkap segala pengertian dan arif
(al-Ghazali, III:3-4)
Al-Qalb memiliki sinonim sadr, lubb, fuad dan syaghaf
(Asy’rie, 1984:109) al-qalb disebut sadr (dada) karena qalb
menjadi terbitnya nurul Islam. Allah berfirman:
Artinya :
“ Maka Apakah orang-orang yang
dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya
dari Tuhannya (sama dengan orang yang membatu hatinya ?)…. ”. ( QS. Az Zumar :
22 ).
al-qalb disebut lubb tersebut dalam
Artinya :
“ Allah menyediakan bagi mereka azab
yang keras, Maka bertakwalah kepada Allah Hai orang-orang yang mempunyai akal;
(yaitu) orang-orang yang beriman. Sesungguhnya Allah telah menurunkan
peringatan kepadamu “. ( QS. At Thalaq : 10 ).
al-qalb disebut fuad umpama firman Allah
Artinya :
“ hatinya tidak mendustakan apa yang
telah dilihatnya “. ( QS. An Najm : 11 ).
al-qalb disebut syaghaf umpama firman Allah
Artinya :
“ dan wanita-wanita di kota berkata:
"Isteri Al Aziz menggoda bujangnya untuk menundukkan dirinya (kepadanya),
Sesungguhnya cintanya kepada bujangnya itu adalah sangat mendalam. Sesungguhnya
Kami memandangnya dalam kesesatan yang nyata". ( QS. Yusuf : 30 ).
Menurut Al-quran al-qalb
memiliki banyak fungsi, antara lain:
a.
berzikir kepada Allah, Allah berfirman
Artinya :
“ (yaitu) orang-orang yang beriman
dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan
mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram “. ( QS. Ar Ra’du : 28 ).
b.
memahami kebenaran dan kekuasaan Allah yang tersembunyi di balik peristiwa
kemanusiaan
Artinya :
“ Maka Apakah mereka tidak berjalan
di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami
atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? karena
Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di
dalam dada “. (QS. Al Hajj: 46)
Di samping itu hati disebut dalam
kaitannya dengan
a.
kehidupan sesudah mati, umpama Allah berfirman
Artinya :
“ (yaitu) di hari harta dan
anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah
dengan hati yang bersih “. (QS Asy Syu’ra: 88–89)
Allah berfirman
Artinya :
“ dan Dia menurunkan orang-orang
ahli kitab (Bani Quraizhah) yang membantu golongan-golongan yang bersekutu dari
benteng-benteng mereka, dan Dia memesukkan rasa takut ke dalam hati mereka.
sebahagian mereka kamu bunuh dan sebahagian yang lain kamu tawan “. ( QS Al
Ahzab : 26 ).
Allah berfirman
Artinya :
“ agar Dia menjadikan apa yang
dimasukkan oleh syaitan itu, sebagai cobaan bagi orang-orang yang di dalam
hatinya ada penyakit dan yang kasar hatinya. dan Sesungguhnya orang-orang yang
zalim itu, benar-benar dalam permusuhan yang sangat “. ( QS Al Hajj : 53 ).
Jika dipahami secara saksama
qalb/intuisi berperan seperti akal, bahkan sesungguhnya qalb adalah akal
yang lebih tinggi (Iqbal,1981), hanya saja obyeknya berbeda. Akal memahami
realitas kongkrit atau fisik (benda, hal, peristiwa), qalb memahami
realitas metafisik. Akal menangkap kebenaran sepotong-potong dan qalb
menangkap kebenaran secara keseluruhan. Akal memusatkan perhatiannya pada
kebenaran yang sementara dan qalb memusatkan perhatiannya pada kebenaran
yang bersifat kekal (Iqbal, 1981:2-3). Dalam aktifitas budaya keduanya tentu
saling melengkapi. Bagan alur aktifitas budaya dapat digambarkan sebagi berikut
C. Berbudaya
Berbudaya pada hakikatnya adalah
perwujudan diri dari masyarakat. Dalam berbudaya, beramal atau bereksistensi
manusia disamping menciptakan nilai juga terikat nilai-nilai yang berlaku dalam
masyarakat. Ada banyak nilai yang hidup di tengah-tengah masyarakat seperti
nilai etika, estetika, logika, religius dan yang lainnya. Medan aktifitas
budaya pun amat luas antara lain tentang kehidupan sosial, ekonomi, politik,
pendidikan, kesenian, ilmu teknologi, dan aneka ritus, tradisi, maupun sarana
kegiatan agama, yang masing-masing bisa mewujud sebagai ciptaan nilai tetapi
juga telah menjadi nilai. Artinya manusia menciptakan nilai dan ia terjerat
dalam jaring-jaring nilai itu.
Dalam beraktifitas manusia tidak
bebas nilai, dapat dinilai baik atau dinilai buruk, dan manusia tidak pernah
tidak berbuat. Ketika ia memilih tidak berbuat, pada dasarnya adalah berbuat
untuk tidak berbuat. Pilihannya pasti tidak terlepas dari tanggung jawab
moralitas baik-buruk. Ketika seseorang melihat kecelakaan di jalanan dan ia
cukup dekat dengan itu, kemudian ia tidak berbuat untuk menolong. Atas dasar
nilai yang hidup di tengah-tengah masyarakat atau nilai budaya yang hidup, ia
dinilai tidak baik. Pendek kata kebudayaan itu dapat dinilai baik atau buruk. Permisifme,
yaitu budaya serba membolehkan seperti: demonstrasi yang merusak, anarkhis, dan
mengganggu ketertiban umum adalah tidak baik. Gemar membantu orang lain yang
kesulitan adalah baik. Baik atau buruk adalah kodrati manusia. Dalam hal ini
Allah berfirman
Artinya :
“Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa
itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya“. ( QS Asy Syam : 8 ).
Karenanya, ketika manusia berbuat
baik, pada saat itu menjadi langkah awal untuk berbuat baik lanjutannya atau
langkah awal berbuat tidak baik, begitu pula sebaliknya. Manusia tidak bisa
hanya di bilik yang baik terus demikian pula sebaliknya.
Persoalannya adalah bagaimana ia
bisa menekan sekecil mungkin kejahatan dan sebanyak mungkin ketaqwaan. Untuk
ini Allah menjanjikan keberuntungan bagi yang taqwa dan kerugian bagi yang
jahat. Lanjutan ayat tadi demikian
Artinya :
“Sesungguhnya beruntunglah orang
yang mensucikan jiwa itu, dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya “.
( QS Asy Syam : 9 – 10 ).
Bereksistensi, beramal, atau
beraktifitas budaya baik dalam agama Islam disebut as-salih, al birr,
al-khair, al-hasan, dan al-ma’ruf; dan yang buruk disebut al-fasad
(rusak), asy-syarr (buruk), al-munkar (keburukannya juga menimpa
orang lain), as-su’ (jelek), al-fahisyah (keji). Menurut Islam
baik atau buruk suatu amal, eksistensi, aktifitas budaya kembali kepada dirinya
Artinya :
“ Barangsiapa yang mengerjakan amal
saleh, Maka itu adalah untuk dirinya sendiri, dan Barangsiapa yang mengerjakan
kejahatan, Maka itu akan menimpa dirinya sendiri, kemudian kepada Tuhanmulah
kamu dikembalikan “. ( QS Al Jasiyah : 15 ).
Artinya, Islam lebih mementingkan
kebudayaan sebagai proses dari pada kebudayaan sebagai produk, sekalipun tidak
memandang jelek terhadap produk budaya yang tidak jelek. Islam akan memandang
jelek terhadap produk baik manakala tidak diproses atau difungsikan secara baik
(al-birr, al-khair, al-hasan, as-salih, dan al-ma’ruf).
Nabi bersabda bahwa salah satu tanda-tanda hari kiamat yang berarti kehancuran
adalah apabila suatu masa nanti orang-orang yang berjalan tanpa alas kaki, cara
berpakaian laksana telanjang sedang keadaannya amat miskin, dan hanya sebagai
pengembala ternak tetapi berlomba-lomba dalam membuat bangunan (hadis,
at-Turmuzi, IV:120).
. . . فمتى ا
لسا عة ؟ قا ل ما ا لمسؤ ل عنها اعلم من ا لسا ئله قا ل فما ا ما ر تها ؟ قا ل :ا
ن تلد ا لا مة ر بتها وا ن ترى ا لحفاة ا لعراء ا لعا لة رعاء ا لشاة يتطا و لون
فى ا لبنيا ن
.
). . . kapan kiamat itu terjadi? Jawab (Muhammad): bukankah orang
yang ditanya tidak lebih tahu dari penanya, apa tanda-tandanya?. Penanya
(Jibril) menjawab: yaitu ketika seorang budak melahirkan tuannya, dan engkau
menyaksikan orang-orang yang berjalan dengan tanpa alas kaki, telanjang,
miskin, dan hanya berprofesi sebagai penggembala kambing tetapi berlomba-lomba
dalam hal bangunan(
Tipoligi kaum (manusia) seperti itu
adalah orang yang sederhana intelektualitasnya (budak) dan bobrok mentalitas
maupun moralitasnya. Bagaimana terhadap ibu kandungnya dijadikan sebagai budak?
Dapat dicontohkan disini bahwa masjidnya bagus tetapi sepi dari syiar Islam,
tingkatan keulamaan imam masjid amat terbatas. Dalam keadaan demikian dapat
dikatakan bahwa msjid itu, terutama dilihat dari segi fungsi mendekati ambang
kehancuran. Jadi budaya sebagai proses jelek, tetapi budaya sebagai produk
fisik baik, tak lama kemudian akan ambruklah kebudayaan itu baik dalam arti
proses maupun produk. Sebaliknya Islam akan memandang jauh lebih baik manakala
beramal (budaya sebagai proses) baik dan hasilnya (budaya sebagai produk) juga
baik. Nabi pernah bersabda “ Mukmin itu baik, tetapi mukmin yang kuat itu lebih
baik”
D.
Perbuatan Dalam Konteks Kebudayaan
Dalam aktifitas budaya atau
perbubuatan yang dapat diamati dengan indera pada dasarnya adalah realisasi
dari akal. Melalui pikiran akal memahami realitas kongkret dan melalui qalbu
(intuisi) akal memahami dibalik realitas itu seperti Tuhan, firman dan realitas
metafisik lainnya. Jadi di dalam berbuat dalam konteks kebudayaan adalah
kesatuan akal, pikiran, qalbu, dan perbuatan.
Perbuatan ini pada dasarnya adalah
karya kreatif karena pada level sebelum teraktualisasikan masih berbentuk
konsep gagasan, atau rencana yang nanti akan diwujudkan dalam kenyataan. Dengan
demikian dalam perbuatan ini sebenarnya terjadi hubungan timbal balik antara
alam sekitar dengan dirinya. Ia secara konseptual memilih dan memilah
barang-barang tertentu, peristiwa tertentu, unsur-unsur tertentu, kemudian
menyusunnya atas dasar tertib tertentu hingga terjadilah sesuatu produk tertentu
pula, bahkan dalam waktu yang bersamaan manusia kreatif, pencipta kebudayaan
ini sekaligus berdialektis dengan Tuhan. Seuntai syair berikut
mengilustrasikan:
Thou dist create night and I made
the lamp
Thou dist create clay and I made the
cup
Thou dist create deserts, mountains
and forests
I produced the orchards, gardens and
grocests
It is I who turneth stone into a
mirror
And it is I turneth potion into an
antidote (Audah [mengutip Iqbal], 1982:XVI)
Artinya
Kau ciptakan malam dan aku yang
membuat lampu
Kau ciptakan tanah liat dan aku yang
membuat piala
Kau ciptakan sahara, gunung, dan
hutan belantara
Aku juga yang membuat kebun anggur,
taman-taman, dan padang tanaman
Akulah yang mengubah batu menjadi
cermin
Akulah yang mengubah racun menjadi
obat penawar
Dalam Islam justru memuji kepada
siapapun yang menciptakan sesuatu (berkreasi) tentang sesuatu yang baik.
Pahalanya akan tetap mengalir terus semakin lama aliran itu semakin banyak,
sebanyak orang yang mengikutinya - budaya dalam arti yang telah mapan, demikian
sebaliknya jika kreatifitas itu jelek. Nabi bersabda (an-Nawawi, [t.th]:101)
. . . من سن فى
الا سلام سنة حسنة فله ا جرمن عمل بها بعده من غير ا ن ينقص من ا جور هم شيئ و من
سن فى الا سلام سنة سيئة كا ن عليه وزرها ووزر من عمل بها من بعده من غيرا ن ينقص
من او زا ر هم شئ (روا ه مسلم)
. . . barang siapa yang melakukan
suatu kretifitas yang baik di dalam Islam, akan memperoleh pahala dan pahalanya
orang-orang melakukannya (kreatifitas) sesudahnya tanpa mengurangi sedikitpun
pahala mereka, dan barang siapa melakukan kreatifitas yang buruk di dalam
Islam, ia memperoleh dosanya dan dosa orang-orang yang melaksanakannya
(kreatifitas) sesudahnya tanpa mengurangi sedikitpun dosa-dosa mereka (H.R
Muslim)
Memang kebudayaan berasal dari aksi
seseorang atau sekelompok orang. Orang-orang ini biasa disebut agen kebudayaan
(brouker cultural). Aksi ini direspon orang banyak, ada yang menolak dan
ada yang menerima atau ada yang selektifitas. Jika pada akhirnya diterima
secara luas oleh masyarakat maka aksi budaya lalu menjadi kebudayaan yang mapan
(cultural folk) (winich, 1997:145)
1.
Hubungan Manusia dengan Allah
Hubungan antara manusia dengan Allah
dapat dijelaskan melalui kebudayaan dengan pendekatan normatif. Hanya saja
norma itu lebih dominan berasal dari Allah pada aspek-aspek ritual. Hubunagn
ini berpola top down (atas bawah). Allah menuntut supaya manusia
menyembahNya. Aktifitas menyembah ini dalam bahasa agama disebut ibadah
mahdah, seperti taharah, salat, puasa ramadan, zakat, haji, mengurus
jenazah, ‘udhiyyah, ‘aqiqah, doa, dan zikir (Jalaluddin Rahmat, 1988:47). Atau
hak Allah atas manusia. Allah berfirman
Artinya :
“ Hai manusia, sembahlah Tuhanmu
yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa “. ( QS Al Baqarah : 21 ).
Dalam hal ini manusia harus patuh
secara mutlak kepada Allah. Sebaliknya hak manusia atas Allah adalah manusia
dimuliakan dibanding seluruh ciptaanNya di alam semesta ini. Allah berfirman
Artinya :
“ dan Sesungguhnya telah Kami
muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri
mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang
sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan “. ( QS Al Isra’ : 70
).
Selain itu, manusia dijadikan
wakil-Nya di bumi ini. Allah berfirman
Artinya :
“ ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada
Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di
muka bumi…." ( QS Al Baqarah : 30 ).
Manusia dibekali ilmu pengetahuan: wa
allama Adam al-asmaa kullaha (dan Dia ajarkan kepada Adam nama-nama benda
semuanya
Artinya :
“ dan Dia mengajarkan kepada Adam
Nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada Para
Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika
kamu mamang benar orang-orang yang benar! ".( QS Al Baqarah : 31 ).
Wujud nyata ajaran Allah kepada
manusia itu adalah konseptualisasi atas benda-benda (Iqbal, 1981) yang pada
akhirnya menjadi ilmu dan ketrampilan. Itulah sebabnya manusia tidak
terkalahkan kepandaiannya dibanding seluruh makhluk di alam semesta ini.
2.
Hubungan Manusia dengan Manusia
Secara realistis manusia tidak bisa
hidup sendirian. Ia pasti membutuhkan bantuan orang lain. Untuk itu manusia
menjalin kerja sama, melakukan kesepakatan-kesepakatan bersama untuk
melangsungkan hidup.
Dalam banyak hal antara manusia satu
dengan yang lainnya memiliki individualitas dan khas milik pribadi. Pendambaan
yang berlebihan terhadap hak privasi tentu menghambat kerja sama antar warga.
Untuk itu dituntut ada pengorbanan dari masing-masing pihak, ada toleransi
diantara manusia, dan saling hormat-menghormati. Dalam hal ini Allah berfirman
Artinya :
“ …dan tolong-menolonglah kamu dalam
(mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat
dosa dan pelanggaran… “ (QS Al Maidah : 2 )
Jika tidak saling menghormati dan
menghargai satu sama lain akan menimbulan krisis dan konflik satu sama lainnya.
Allah berfirman
Artinya :
“ Maka disebabkan rahmat dari
Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap
keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu…” (
QS Ali Imran : 159 ).
3.
Hubungan Manusia dengan Alam Semesta
Secara realistis manusia bergantung
sepenuhnya terhadap alam sejak mulai menghirup udara, butuh kehangatan, makan,
minum, hingga beristirahat dari berbagai macam aktifitas. Ia tidak bisa hidup
tanpa alam. Menurut norma Islam seluruh isi alam ini untuk manusia dalam
menopang kehidupannya. Allah berfirman
Artinya :
“ Dia-lah Allah, yang menjadikan
segala yang ada di bumi untuk kamu… “ ( QS Al Baqarah : 29 )
Penggunaan alam sebagai fasilitas
hidup manusia bukan penggunaan semena-mena, melainkan harus tetap dalam keadaan
baik yang dapat dirumuskan sebagai harmoni alam. Allah berfirman
ولا تفسد وا فى الا رض بعد ا صلحها
dan janganlah kamu membuat kerusakan
di muka bumi, sesudah Allah memperbaikinya...(Q.S al-Hadid/57:25).
Pengrusakan alam semesta sangat
tidak disukai oleh Allah. Allah berfirman
Artinya :
“ ….dan mereka berbuat kerusakan
dimuka bumi dan Allah tidak menyukai orang-orang yang membuat kerusakan “. ( QS
Al Maidah : 64 ).
Sebaliknya Allah amat menyukai
orang-orang yang berbuat baik terhadap alam lingkungan. Demikian Allah
berfirman
Artinya :
“ dan janganlah kamu membuat
kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan Berdoalah kepada-Nya
dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan).
Sesungguhnya rahmat Allah Amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik “ (
QS Al A’raf : 56 ).
Ringkasnya, alam semesta atau alam
lingkungan fisik menjadi medan aktifitas budaya manusia namun tetap dalam
kondisi yang dapat mendukung kehidupan manusia itu sebdiri. Eksplorasi alam
dengan tidak mengindahkan peringatan-peringatan pencipta alam tentu akan
berakibat rusaknya alam yang pada akihirnya akan menghancurkan manusia itu
sendiri.
Telah dijelaskan di muka bahwa
hakekat manusia terletak pada amal atau eksistensi diri atau penciptaan
kebudayaan yang terus menerus untuk mencapai kesempurnaan dirinya sebagai
manusia (full human). Yang menghentikan proses penciptaan kebudayaan ini
hanya kalau dia meninggal. Amal, bereksistensi, atau aktifitas budaya
(penciptaan, pelestarian, perubahan, penyempurnaan, pemantapan) merupakan
kesatuan dari akal, qalbu, dan aksi budaya serta kesadaran akan tujuannya.
Tujuan seluruh aktifitas kebudayaan adalah pelaksanaan perintah Tuhan. Allah
berfirman
Artinya :
“ dan aku tidak menciptakan jin dan
manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku “. ( QS. Adz Dzariyat : 56
).
Wujud penyembahan atau pengabdian manusia
kepada Allah adalah melaksanakan tugas sebagai khalifah, memakmurkan bumi,
berlaku baik terhadap alam semesta, sesama manusia, dan Allah. Penghambaan,
penyembahan, atau pengabdian itu sebenarnya bukan untuk menambahkan agar Allah
semakin agung, melainkan kepada manusia itu sendiri. Allah tak berkurang
sedikitpun kesempurnaannya. Allah berfirman:
Artinya :
“…. tetapi jika kamu kafir Maka
(ketahuilah), Sesungguhnya apa yang di langit dan apa yang di bumi hanyalah
kepunyaan Allah dan Allah Maha Kaya dan Maha Terpuji “. ( QS An Nisa’ : 131 )
Artinya :
“ ….dan jika kamu kafir, (maka
kekafiran itu tidak merugikan Allah sedikitpun) karena Sesungguhnya apa yang di
langit dan di bumi itu adalah kepunyaan Allah, dan adalah Allah Maha mengetahui
lagi Maha Bijaksana “. ( QS An Nisa’ : 170 )
Artinya :
“ dan Musa berkata: "Jika kamu
dan orang-orang yang ada di muka bumi semuanya mengingkari (nikmat Allah) Maka
Sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji ". ( QS. Ibrahim : 8
).
Artinya :
“ jika kamu kafir Maka Sesungguhnya
Allah tidak memerlukan (iman)mu….” ( QS. Az Zumar : 7 ).
Mahasiswa adalah bagian kelas atau
spesies manusia. Mahasiswa menempati posisi penting, strategis, dan terhormat
dari kelas manusia. Lebih banyak manusia yang gagal atau kandas dalam
mencita-citakan dirinya menjadi mahasiswa. Tidak sedikit orang yang menyatakan
“masa depan suram” ketika mereka tidak diterima di perguruan tinggi di mana
mereka melakukan test penerimaan mahasiswa baru. Karena itu menjadi mahasiswa
merupakan anugerah Allah yang pantas disyukuri. Allah berfirman:
“ dan (ingatlah juga), tatkala
Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan
menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka
Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih ". ( QS Ibrahim : 7 ).
Karena eksistensi mahasiswa adalah
belajar, maka ia disebut sebagai manusia pembelajar yang pengertiannya amat
luas, yaitu bukan hanya belajar di sekolah atau perguruan tinggi, bukan hanya
kursus-kursus dan pelatihan (on the job atau off the job) di
berbagai perusahaan, melainkan mencakup:
a. mulai
bersikap jujur, pertama-tama terhadap diri kita sendiri
b. mulai
menerima tanggung jawab yang sesuai dengan kapasitas diri kita
c. mulai
dapat diandalkan dan di pegang kata-katanya
d. mulai
mengembangkan kepedulian sosial dan lingkungan
e. mulai
bersikap adil terhadap sesama tanpa diskriminasi
f. mulai
mengembangkan keberanian menyatakan dan mengaktualisasi diri
g. mulai
menjadi rasional tanpa harus memutlakkan buah pikiran kita yang relatif itu
h. mulai
rendah hati dan menyadari keterbatasan diri
i. mulai
pendisiplin diri (pengaharapan, hasrat, energi, waktu)
j. mulai
bersikap optimis tanpa menjadi naif
k. mulai
menyatakan komitmen dan menepatinya
l. mulai
memprakarsai sesuatu yang baik sekalipun tidak profitable
m. mulai
bertekun (perseverance) dalam mengerjakan sesuatu
n. mulai
mampu bekerja sama dengan orang-orang yang berbeda dengan kita
o. mulai
saling menyayangi satu sama lain
p. mulai
memberikan dorongan dan membangkitkan hati yang lesu
q. mulai
memaafkan dan mengampuni kesalahan orang
r. mulai
murah hati dan senag berbagi
s. mulai
memanfaatkan peluang dan kesempatan
t. mulai
mengahayati persudaraan sesama umat, sesama bangsa, dan sesama manusia.
Semboyan manusia pembelajar antara
lain (Harefa,2000:vi) “Belajar dan mengajar secara berkesinambungan harus
menjadi bagian dari pekerjaan”, begitu kata Peter F. Drucker. Dan hakikat
manusia pembelajar itu sendiri adalah:
Setiap orang (manusia) yang bersedia
menerima tanggung jawab untuk melakukan dua hal penting, yakni: pertama,
berusaha mengenali hakikat dirinya, potensi dan bakat-bakat terbaiknya, dengan
selalu berusaha mencari jawaban yang lebih baik tentang beberapa pernyataan
eksistensial seperti “Siapakah aku?”, “Dari manakah aku datang?”, “Ke manakah
aku akan pergi?”, “Apakah yang menjadi tanggung jawabku dalam hidup ini?”, dan
“Kepada siapa aku harus percaya?”; dan kedua, berusaha sekuat tenaga
untuk mengaktualisasikan segenap potensinya itu, mengekspresikan dan menyatakan
dirinya sepenuh-penuhnya, seutuh-utuhnya, dengan cara menjadi dirinya sendiri
dan menolak untuk dibanding-bandingkan dengan segala sesuatu yang “bukan
dirinya”.
Dalam Islam dijelaskan bahwa wahyu
yang pertama adalah perintah belajar (membaca) yang tertulis (kitab suci) atau
yang tidak tertulis (alam semesta). Allah berfirman
Artinya :
“ bacalah dengan (menyebut) nama
Tuhanmu yang Menciptakan “. (QS Al ‘Alaq : 1 ).
Esensi ayat ini manusia (atas nama
Allah) hendaklah membaca, mempelajari apa saja yang diciptakan Allah. Manusia,
khususnya mahasiswa, yang setengah hati atau kurang memiliki daya fitalitas
dalam membaca, meneliti fenomena alam ciptaan Allah untuk dimanfaatkan sebagai
penunjang kehidupan manusia, tidak menghargai diri sebagai insan akademis.
Harga diri insan akademis dapat
dirumuskan: pertama, mengenai sikap perasaan, dan evaluasi mengenai diri
sendiri; kedua, mengenai proses berpikir, mengingat, dan persepsi
mengenai diri sendiri (Evita & Sutarkinah, 2006:40). Artinya watak diri
insan pembelajar adalah keseluruhan potensi internal diri itulah yang tampil
mengemuka sehingga dapat dibedakan secara tegas dengan insan non akademis, dan
insan non pembelajar.
Budaya insan akademis bukanlah jenis
manusia yang bekerja atas dorongan emosional “hantam dulu urusan belakang”,
melainkan penerapan harga diri secara utuh sebagaimana baru saja disebutkan itu
dan emosi menjadi salah satu komponennya, khususnya menjadi pendorong untuk
memperoleh sukses secara akademis yang memiliki karakter berpikir kritis, kerja
keras, jujur, dan fair dalam menggapai prestise akademis dan selanjutnya
bermuara pada kualitas diri sebagai manusia yang sepenuh-penuhnya. Indikasinya
antara lain: memiliki pengetahuan, berilmu, sikap belajar lebih lanjut, unggul,
kompeten, berkepribadian siap pakai, produktif, dan profesional (Harefa,
2000:64). Yang secara singkat menurut Islam adalah wakil Tuhan di bumi (khalifat-llah
fi al ard) yang memiliki tanggung jawab kehidupan alam semesta secara
makmur, damai, dan sejahtera.
Sebagai penutup dalam uraian ini,
seuntai sajak yang menantang untuk menjadi manusia dewasa lahir batin, patut
direnungkan.
F. Pembentukan Kebudayaan: Etos
Kerja, Sikap Terbuka, dan Adil
1. Etos Kerja
Telah disebutkan terdahulu hakikat
manusia terletak pada eksistensinya. “Eksistensinya” berarti berpikir untuk
mencipta yang menghasilkan produk atau ciptaan. Dengan kata lain hakikat
manusia adalah kerja. Konsekuensi logisnya adalah berhenti bekerja hilang
hakikatnya sebagai manusia. Telah disebutkan pula bahwa Islam lebih
mementingkan amal dari pada gagasan atau terminal terakhir adalah amal. Amal
identik dengan kerja dan sekali lagi hakikat manusia adalah kerja.
Alquran sendiri memandang amal itu
begitu penting. Kata amal dan berbagai kata yang seakar kata dengannya seperti ya’malun,
ta’malun, ‘amila, i’malu dan yang sejenisnya disebut dalam
Al-Quran sebanyak 192 kali. Kata amal shalih yang dirangkai dengan kata
iman sebanyak 46 kali. Ini berarti hakikat manusia atas dasar pendekatan
kebudayaan maupun agama adalah sama yaitu terletak pada kerja atau amal.
Kesimpulan ini didukung oleh pepatah:
ا لعلم بلا عمل كا لنخل بلا عسل
(ilmu tanpa amal bagaikan lebah
tanpa madu)atau
ا لعلم بلا عمل كا لشجر بلا ثمر
(ilmu tanpa amal bagaikan pohon
tanpa buah).
Dengan demikian manusia yang tidak
beramal atau tidak bekerja hakikat kemanusiaannya tidak utuh, atau bahkan
hilang hakikat kemanusiaannya.
Supaya manusia tidak hilang hakikat
kemanusiaannya, Rasulullah mengajarkan kepada umatnya supaya terjauh dari sifat
pemalas. Demikian doa Rasul:
للهم ا نى اعو ذ بك من الكسل والعجز
والبخل (روا ه التر مذى عن زيد بن ارقم)
(ya Allah sesungguhnya aku mohon
perlindungan Engakau dari kemalasan, kelemahan, dan kebakhilan. H.R at-Turmuzi
dari ibn Arqam (at-Turmuzi, V:226)).
Malas, lemah kepribadian dan bakhil
adalah penghalang utama dalam menumbuhkan etos apapun termasuk etos kerja.
Sebaliknya Islam memotifasi demikian bersemangat supaya setiap pemeluknya rajin
beramal atau bekerja. Allah berfirman:
Artinya :
“ Barangsiapa membawa amal yang baik,
Maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya; dan Barangsiapa yang membawa
perbuatan jahat Maka Dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan
kejahatannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan) “.( QS
Al An’am : 160 ).
Dalam ayat tersebut menunjukkan
bahwa siapa yang beramal baik pahalanya dilipatgandakan 10 kali lipat. Sebelas
kali Allah berfirman bahwa orang yang beramal baik itu berakhir dengan
keberuntungan (Abd al-Baqi, [t.th.]:668). Satu diantara:
Artinya :
“ Hai orang-orang yang beriman,
ruku'lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan,
supaya kamu mendapat kemenangan “. ( QS Al Hajj : 77 ).
Kata kemenangan dalam ayat itu sama
dengan keberuntungan, dapat diperhatikan dalam ayat berikut:
Artinya :
“ Sesungguhnya beruntunglah
orang-orang yang beriman “.(QS. Al Mu’minun: 1)
Keberuntungan atau kemenangan dalam
ayat tersebut dan ke 11 yang lain dalam Al-Quran selalu berarti sebagai akibat
dari amal baik. Keberuntungan sebagai amal atau kerja bisa berupa pahala yang
dinikmati besok di hari akhirat kelak, bisa di kehidupan dunia sekarang. Bahkan
sesungguhnya, karena Islam tidak mengenal paham sekularisme, yaitu pemisahan
urusan dunia dan urusan akhirat (agama), justru setiap urusan apapun dalam Islam
selalu mengandung dimensi dunia dan akhirat. Karena itu di dalam Islam
dianjurkan mencari kebahagiaan dunia dan kehidupan akhirat sekaligus. Allah
berfirman:
Artinya :
“dan di antara mereka ada orang yang
bendoa: "Ya Tuhan Kami, berilah Kami kebaikan di dunia dan kebaikan di
akhirat dan peliharalah Kami dari siksa neraka“. ( QS. Al Baqarah : 201
).
Kebahagiaan (hasanah) tidak pernah
datang begitu saja kepada seseorang yang berpangku tangan. Hanya kerja keras
kebahagiaan juga takkan didapat. Tetapi kebahagiaan selalu merupakan perpaduan
antara kerja keras dan anugerah Allah. Karena itu Allah juga memerintahkan
supaya di dalam mencari kehidupan itu tidak setengah-setengah, dunia saja atau
akhirat saja, melainkan keduannya.
Artinya :
“ dan carilah pada apa yang telah
dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu
melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada
orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu
berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang berbuat kerusakan “. ( QS. Al Qashash : 77 ).
Kemudian, di dalam kerja keras
mencari kebahagiaan baik dunia maupun akhirat itu ada kode etiknya, yaitu tidak
boleh berbuat kerusakan, kerusakan apapun (diri sendiri, hubungannya dengan
orang lain, terhadap tetumbuhan, binatang, maupun alam semesta).
2. Sikap Terbuka
Inti sikap terbuka adalah jujur, dan
ini merupakan ajaran akhlak yang penting di dalam Islam. Lawan dari jujur adalah
tidak jujur. Bentuk-bentuk tidak jujur antara lain adalah korupsi, kolusi, dan
nepotisme (KKN). Sebagai bangsa, kita amat prihatin, di satu sisi, kita (bangsa
Indonesia) merupakan pemeluk Islam terbesar di dunia, dan di sisi lain sebagai
bangsa amat korup. Dengan demikian terjadi fenomena antiklimak. Mestinya yang
haq itu menghancurkan yang bathil, justru dalam tataran praktis seolah-olah
yang haq bercampur dengan yang bathil. Tampilan praktisnya, salat ya, korupsi
ya. Ini adalah cara beragama yang salah.
Cara beragama yang benar harus ada
koherensi antara ajaran, keimanan terhadap ajaran, dan pelaksanaan atas ajaran.
Dapat dicontohkan di sini, ajaran berbunyi:
Artinya :
“ ….Sesungguhnya shalat itu mencegah
dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar…..” ( QS. Al ‘Ankabut : 45 ).
Manusia merespon terhadap ajaran
(wahyu) itu dengan iman. Setelah itu ia mewujudkan keimanannya dengan melakukan
salat dan di luar pelaksanaan salat mencegah diri untuk berbuat keji dan
munkar.
Termasuk koherensi antara ajaran,
iman, dan pelaksanaan ajaran adalah jika terlanjur berbuat salah segera
mengakui kesalahan dan memohon ampunan kepada siapa ia bersalah (Allah atau
sesama manusia). Jika berbuat salah kepada Allah segera ingat kepada Allah dan
bertaubat kepada-Nya.
Artinya :
“ dan (juga) orang-orang yang
apabila mengerjakan perbuatan keji atau Menganiaya diri sendiri, mereka ingat
akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka…. “ ( QS. Ali Imron :
135 ).
Jika berbuat salah kepada manusia
segera meminta maaf kepadanya tidak usah menunggu lebaran tiba. Pengakuan
kesalahan baik terhadap Allah maupun kepada selain-Nya ini merupakan sikap
jujur dan terbuka. Menurut Islam sikap jujur dan terbuka termasuk baik. Nabi
bersabda:
ا ن ا لصد ق يهدى ا لى ا لبر وا ن ا لبر يهدى ا لى ا لجنة وا ن
ا لرجل يصد ق حتى يكتب عند الله صد يقا. وا ن ا لكذ ب يهد ا لى ا لفجور. وا ن ا
لفجور يهدى ا لنا ر. وا ن الرجل ليكذ ب حتى يكتب عند لله كذا با( متفق عليه)
(Sesungguhnya jujur itu menggiring
ke arah kebajikan dan kebajikan itu mengarah ke surga. Sesungguhnya lelaki yang
senantiasa jujur, ia ditetapkan sebagai orang yang jujur. Sesungguhnya bohong
itu menggiring ke arah dusta. Dusta itu menggiring ke neraka. sesungguhnya
lelaki yang senantiasa berbuat bohong itu akan ditetapkan sebagai pembohong.
Muttafaq ‘alaih (an-Nawawi, [t.th.]:42)).
3. Bersikap Adil
Secara leksikal adil dapat
diaritikan tidak berat sebelah, tidak memihak, berpegang kepada kebenaran,
sepatutnya, dan tidak sewenang-wenang (Kamus Besar, l990 :6-7) Dari
masing-masing arti dapat dicontohkan sebagai berikut: (1) Cinta kasih seorang
ibu terhadap putra-putrinya tidak berat sebelah. (2) Dalam memutuskan perkara,
seorang hakim tidak memihak kepada salah satu yang bersengketa.(3) Di dalam
menjalankan tugasnya sebagai hakim, Hamid selalu berpegang kepada kebenaran.
(4) Sudah sepatutnya jika akhlaqul-karimah guru diteladani oleh
murid.(5) Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang tidak berbuat sewenang-wenang
terhadap yang dipimpin. Dari masing-masing contoh ini dapat disimpulkan bahwa
sikap adil amat positif secara moral.
Karena sifat yang positif, tentu
sikap adil didambakan oleh banyak orang. Dalam contoh-contoh di atas, sikap
adil bersikap positif atau menguntungkan orang lain. Adil juga dapat dartikan
tingkah laku dan kekuatan jiwa yang mendorong seseorang untuk mengendalikan
amarah dan syahwat dan menyalurkannya ke tujuan yang baik (al-Hufiy, 2000: 24).
Dalam definisi ini dapat dipahami bahwa adil adalah kondisi batiniah seseorang
yang berbentuk energi. Energi ini mendesak keluar untuk mengendalikan amarah
dan kemauan-kemauan hawa nafsu sehingga perbuatan yang keluar menjadi baik.
Yang mestinya orang itu menuruti hawa nafsu, karena kendali sikaprbuatannya
menjadi terarah, tidak merugikan diri sendiri dan orng lain.
Adil dapat diartikan menempatkan
berbagai kekuatan batiniah secara tertib dan seimbang (al-Hufiy, 2000 :26).
Kekuatan yang dimaksud adalah al-hikmah, asy-syaja’ah, dan al-‘iffa.al-Hikmah
berarti kecerdasan. Orang cerdas dapat membedakan antara yang benar dan
salah, baik dan buruk, haq dan batal secara tepat, tetapi belum tentu ia selalu
memilih yang benar, yang baik, dan yang haq. Asy-syaja’ah berarti berani
tanpa rasa takut. Al-‘ffah berarti suci. Ketiga sifat utma ini jika
tidak seimbang menjadi tidak baik. Orang amat cerdas atau genius tetapi
kecerdasannya dapat dijadikan alat untuk mengelabuhi orang lain karena tidak
ada ‘iffah di dalam dirinya. Orang selalu berani menangani setiap
masalah yang dihadapi, tentu akan menampakkan profil preman karena tidak ada al-hikmah
dan ‘iffah di dalam dirinya. Orang cerdas dan berani lalu digunakan
untuk mengeruk kekayaan negara secara tidak syah adalah tidak baik karena tidak
‘iffah di dalam dirinya. Orang selalu hanya memilih kesucian dalam semua
suasana secara terang-terangan tentu dapat membahayakan diri sendiri.
Jika antara al-hikmah,
asy-syaja’ah, dan al-‘iffah berpadu secara seimbang dalam diri
seseorang, maka orang itu akan bersikap adil. Orang berani melakukan sesuatu
setelah ditimbang-timbang bahwa sesuatu itu baik menurut akal dan menurut
pertimbangan syariat juga baik . inilah gambaran perbuatan adil. Berarti, ia
berani berbuat karena benar. Orang tidak berani berbuat juga karena benar,
adalah bersikap adil, bukan karena takut. Dengan dimikian adil adalah puncak
dari ketiga sifat utama tersebut.
Islam memandang sikap adil amat
fundamental dalam struktur ajaran. Kata adil dan berbagai turunannya seperti : ya’dilun,
i’dilu, ‘adlun, dan ta’dili diulang sebanyak 28 kali di dalam
Alquran. Karena itu Allah memerintah kepada kita supaya berlaku adil dalam
semua hal. Allah berfirman:
Artinya :
“...Berlaku adillah, karena adil itu
lebih dekat kepada takwa...” (QS. Al Maidah: 8).
Kata adil sinonim dengan al-qish.
Kata ini dan berbagai derivasinya, umpama: iqshitu, al-muqshitun, dan
al-qashitun terulaqng sebanyak 25 kali dalam Alquran (‘Abd al-Baqiy,
[t.th.] :P690). Kadang-kadang kata adil dan kata al-qisht disebut secara
besama-sama dan satu sama lain berarti sama. Contohnya adalah:
Artinya :
“ dan kalau ada dua golongan dari
mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi
kalau yang satu melanggar Perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang
melanggar Perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah.
kalau Dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan
hendaklah kamu Berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang
Berlaku adil “. ( QS. Al Hujurat : 9 ).
Karena baik secara rasional maupun
syariah bahwa sikap adil itu adalah baik dan positif, tetapi di sisi lain kita
merupakan pemeluk agama Islam terbesar dunia dan di saat yang sama dikenal
sebagai bangsa dengan aneka predikat yang tidak baik seperti KKN (korupsi,
kolusi, dan nepotisme), maka untuk merubah citra buruk itu salah satu cara strategis
adalah membudayakan sikap adil dalam semua lapangan kehidupan.
Untuk mewujudkan sikap adil harus
dilatih terus menerus secara berkesinambungan, yang bererti pembiasaan berlaku
adil. “Mulai sekarang, mulai yang sederhana, dan mulai dari diri sendiri”,Inilah
komitmen untuk mulaiu pembiasaan berlaku adil. Jika langkah awal ini dapat
dilalui dengan baik, tentu mudah menjalar kepada orang lain, apalagi kalau yang
memulai komitmen itu adalah orang yang memiliki pengaruh di masyarakat di mana
ia berada karena salah satu naluri manusia adalah meniru idola. Jika idola
tidak bersikap adil, tentu para fansnya akan meniru tidak adil pula.
Dalam Islam orang yang paling pantas
untuk di dudukkan sebagai idola untuk ditiru dan diteladani adalah Rasulullah
SAW. Allah berfirman :
Artinya :
“ Sesungguhnya telah ada pada (diri)
Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap
(rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah “. (
QS. Al Ahzab : 21 ).
Selain itu ‘Aisyah, istri
Rasulullah, menyebutkan bahwa akhlak beliau adalah Al-Quran “kana khuluqulm
Al-Quran” (H.R Muslim dari ‘Aisyah). Kiranya terlalu pantas jika idola
pertama seluruh umat Islam adalah Rasulullah. Hingga sekarang Rasulullah adalah
orang yang paling berpengaruh di dunia (rangking pertama) dari seratus orang
yang paling berpengaruh di dunia (Hart, 1982:4). Cukup banyak contoh-contoh
sikap adil yang ditampakkan oleh Rasulullah, antara lain:
An-Nu’man bin Basyir mengatakan,
“Ayahku memberi sesuatu pemberian kepadaku. Lalu ibuku Amrah bin Rawahah
berkata, “Aku tidak rela sebelum engkau persaksikan hadiah itu di hadapan
Rasulullah SAW”.
Ayahku lalu menghadap Rasulullah SAW
dan berkata, “Ya Rasulullah, sesungguhnya aku telah membarikan suatu pemberian
kepada anakku dari Amrah bin Rawahah. Kemudian aku diperintahkannya supaya
bersaksi kepada Tuan!”
Rasulullah SAW lalu berkata, “Apakah
engkau juga telah memberi kepada semua anakmu pemberian seperti ini?”
An-Nu’man menjawab, “Tidak”.
Beliau lalu bersabda, “bertaqwalah
kepada Allah dan berlaku adillah terhadap anak-anakmu!”
Kemudian ayahku pulang dan menarik
kembali pemberiannya.
DanAda orang perempuan Makhdzumiyyah
mencuri. Kejadian itu sangat orang-orang Quraisy. Mereka berkata, “Siapakah
yang akan membicarakan hal ini kepada Rasulullah SAW?”
Tidak ada seorangpun yang berani
kecuali (kekasih wanita itu) Usman bin Zaid r.a. Lalu ia membicarakan hal
tersebut dengan Rasulullah SAW.
Beliau berkata, “Apakah kamu akan
bertindak sebagai pembela dalam pelanggarana hukum Allah?” Kemudian
Rasulullah SAW berdiri serta berkhotbah. Di antara isi khotbahnya beliau
bersabda, “Sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kamu adalah
apabila ada seorang dari golongan bangsawan mencuri, mereka biarkan saja,
tetapi bila yang mencuri itu dari golongan bawah (lemah), dia dijatuhi hukuman.
Demi Allah andaikata Fatimah putri Muhammad mencuri, pasti akan kupotong
tangannya.”(Al-hufiy, 2000:189)
Dan masih banyak contoh lain tentang
keadilan Rasulullah.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Budaya
atau kebudayaan berasal dari [bahasa Sansekerta] yaitu buddhayah,
yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan
sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal.
Budaya
Akademik. Dari uraian di atas “hakekat” penyikapan IPTEK dalam kehidupan
sehari-hari yang islami adalah memanfaatkan perkembangan IPTEK untuk
meningkatkan martabat manusia dan meningkatkan kualitas ibadah kepada Allah
SWT.
Etos
Kerja. Etos kerja dalam arti luas menyangkut akan akhlak dalam pekerjaan. Untuk
bisa menimbang bagaimana akhlak seseorang dalam bekerja sangat tergantung dari
cara melihat arti kerja dalam kehidupan, cara bekerja dan hakikat bekerja.
Dalam pandangan Islam, etos kerja betujuan untuk dua hal :
Manifestasi
Mencari Ridha Allah,
Karakteristik
pekerjaan mendatang, Berbagai trend telah memperlihatkan bahwa bentuk
pekerjaan mendatang tak hanya mengandalkan fisik tetapi juga otak. Al Qur’an
dalam berbagai ayat sudah mengajak manusia untuk berpikir, membandingkan dan
menggunakan akal dalam menghayati kehidupan dan mengarungi samudera kehidupan.
• Sikap
Terbuka dan Adil.Menurut Abdul Halim Hifni, Syariat Islam menuntut kita untuk
berbuat adil dalam segala hal dan adil dengan semua orang dengan memberikan hak
masing-masing sesuai dengan haknya. Adil terhadap Siapapun berarti anda harus
memberikan kesempatan kepadanya untuk menyampaikan pendapatnya secara bebas dan
terbuka.
B.
SARAN
A Diharapkan dengan
pembuatan makalah ini, pengetahuan yang dimiliki oleh penulis maupun para
mahasiswa dapat bertambah luas tentang Pandangan Budaya Menurut Islam terutama
Budaya Akademik, Etos kerja, Sikap Terbuka dan Adil, semoga makalah ini dapat
dipergunakan sebagai acuan untuk mempelajari dan memahami mata kuliah ini.
b. Sebaiknya para mahasiswa yang mengambil mata kuliah ini lebih
memperdalam pengetahuannya, karena dasar yang kokoh sangat penting untuk hasil
yang maksimal di mata kuliah ini kedepannya nanti.
DAFTAR
PUSTAKA
‘Abdal-Baqiy,
Ahmad Fuad al-. Al-Mu’jam al-Mufahras li al-Faz al-Qur’an Karim.
Indonesia: Maktabah Dahlan [t.th.].
An-Nawawi,
Muhiyyi ad-Din Abi Zakaria Yahya bin Syaraf. Riyad as-Salihin. Surabaya.
Asy’arie,
Musa. Manusia Pembentuk Kebudayaan Dalam Alquran. Yogyakarta: Lembaga
Studi Filsafat Islam, 1992.
Audah, Ali
(et all). Membangun Kembali Pikiran Agama Islam. Jakarta: Tintamas,
1992.
Geertz,
Clifford, “The Impact of the Concept of Culture on Concept of Man”, dalam John
R. Platt (ed.). New Views of the Nature of Man. Chicago: The University
of Chicago Press, 1965.
Hareva, Andrias.
Menjadi Manusia Pembelajar. Jakarta: Harian Kompas, 2000.
Hart,
Michail H. Seratus Tokoh Paling Berpengaruh Dalam Sejarah (ter.) Junaidi
HM. Jakarta: Pustaka Jaya, l982.
Al-Hufiy,
Ahmad Muhammad . Keteladanan Akhlak Nabi Muhammad SAW. (terj.) Abdullah
Zakiy al-Kaaf .Bandung: Pustaka Setia, 2000.
Iqbal,
Mohammad. The Reconsturction of Religious Thought in Islam. Lakore:
Muhammad Ashraf, 1981.
Al-Ju’fi,
Abu Abdi-llah bin Isma’il bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardizbah al-Bukhari.
Sahih al-Bukhari, VIII. Semarang: Thoha Putra, [t.th].
Kroeber,
A.L dan Kluckhon, Clyde. Cultural: a Critical Review of Concepts and
Definitions. Massaschusset: The Museum, 1952.
Mazkir,
Ibrahim. Mu’jam al-Falsafi. Qahirah: al-Hai’ah al-‘Ammah li asy-Syirin
al-Matba’ah al-Amiriyyah, 1997.
Munawwir,
A.W. Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia. Yogyakarta: Pondok Pesantren
Al-Munawwir, 1984.
Rahmat,
Jalaluddin. Islam Alternatif. Bandung: Mizan, 1988.
Singgih-Salim,
Evita E. Sukses Belajar di Perguruan Tinggi. Yogyakarta: Pandawa, 2006.
at-Turmuzi,
Abu ‘Isa Muhammad bin Isa bin Saurak. Sunav at-Turmuzi, IV. Semarang:
Thoha Putra, [t.th].
Wach,
Joachim. The Comparative Study of Religious. New york: Columbia
University Press, 1966.
Winick,
Charles. Dictionary of Antropology. Tolowa. New Jersey:
Littlefield-Adams & Co, 1977.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar