BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Berbagai
konflik yang dikarenakan perbedaan suku, budaya atau agama- yang terus
terjadi, dan kekerasan yang mengatas namakan agama khususnya di Indonesia
selalu menjadi pusat perhatian. Ironisnya, sejak kejadian 11 september 2001
Islamlah yang sering dituding menjadi dalang dibalik teror dan kekerasan
dunia.Kekerasaan tersebut menjadi argumen kuat bagi mereka yang ingin menafikan
toleransi dalam Islam. Sehingga mereka mengkalaim Islam tidak akan memberi
solusi dalam kehidupan masyarakat, apalagi pada Negara. Dengan ini tawaran
hidup ala Barat yang sekular lebih banyak diminati.
Pluralitas
merupakan sunnatullah yang Allah ciptakan di atas bumi Nya karena Allah
telah berfirman dalam Al Qur’an:
يا أيها
الناس إنا خلقناكم من ذكر و أنثى و جعلناكم شعوبا و قبائل لتعارفوا إن اكرمكم عند
الله أتقاكم إن الله عليم حكيم
“Hai
manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah
ialah orang yang paling bertakwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Mengenal.”(QS. Al Hujurat: 13)
Akan tetapi
keterbatasan manusia dalam menerima perbedaan yang telah menjadi sunnatullah
sering menjadi percekcokan dan ketegang apalagi dalam suatu Negara yang
bermasyarakat majemuk dan plural.Tak lepas dari keterbatasan manusia itu
sendiri, muncullah paham sekularisme yang menawarkan persatuan dan kedamaian
dalam perspektif modernitas. Sehingga agama dan (politik) Negara harus
dipisahkan, karena agama tidak akan memberi solusi malah hanya akan menjadi
stagnasi kemajuan.
Penduduk Indonesia terdiri dari berbagai etnis, ras, budaya, suku, bahasa, dan
agama. Akan tetapi berbagai konflik dan ketegangan yang terjadi di Indonesia,
termasuk peran agama pun –baik intern atau antar umat beragama- ikut memicu
konflik dan ketegangan yang sering terjadi di tanah air tercinta.
Indonesia merupakan penduduk mayoritas Islam terbesar di dunia, jadi tidaklah
mengherankan jika Indonesia mendapat perhatian khusus dunia. Seiring dengan
pergerakan globalisasi yang terus berkembang, apakah Islam yangdituduh sebagai
agama teoraksi yang jumud dan rukud (stagnasi atau statis) dapat
membangun persatuan dalam kehidupan masyarakat yang plural?!
Persatuan adalah
gabungan ikatan atau kumpulan dari beberapa bagian yang sudah bersatu.
Umat merupakan sebutan lain untuk mahluk
yang bernama manusia dan bisa juga diartikan penganut atau pemeluk suatu agama.
Negara adalah organisasi yang sah dalam
suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi dan ditaati oleh rakyat, atau
sebuah kelompok sosial yang menduduki suatu wilayah atau daerah tertentu yang
diorganisasi dibawah lembaga politik, mempunyai persatuan politik dan
berdaulat sehingga berhak menentukan tujuan nasionalnya.
Bermasyarakat artinya
bersatu membentuk masyarakat. Masyarakat adalah sekumpulan orang yang hidup
bersama di suatu tempat atau wilayah dengan ikatan aturan tertentu.
Majemuk adalah sesuatu yang terdiri dari
beberapa bagian yang merupakan kesatuan.
Kacamata adalah
sebuah lensa untuk mata yang berguna untuk menormalkan atau mempertajam
penglihatan.
Islam adalah penyerahan diri kepada Allah
dengan melaksanakan dan tunduk kepada apa yang datang dari Nabi Muhammad saw
dari perbuatan yang jelas dalam syariat dan diketahui oleh agama secara primer (dharurat)
atau dengan adanya al-dalil al-yaqini.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
cara islam menghadapi perbedaan ?
2.
Bagaimana
sistem politik dalam islam ?
3.
Apa upaya
yang dilakukan untuk mempersatukan umat ?
C. Tujuan
1.
Untuk
mengetahui islam dalam menghadapi perbedaan
2.
Untuk
mengetahui sistem politik dalam islam
3.
Untuk
mengetahui upaya yang dilakukan untuk mempersatukan umat
BAB II
PEMBAHASAN
A.
ISLAM DALAM MENYIKAPI PERBEDAAN
1. Konsep
Toleransi dalam Islam (Kebebasan Beragama)
Radikalisme Islam mendorong Barat memelihara isu
“:teroris Islam” agar dunia waspada dan ikut memberantas kelompok ekstrimis
Islam. Dan menghapus citra Islam dengan mengatakan Islam adalah agama yang
intoleransi. Islam adalah agama yang sangat toleransi. Jelas ini tidak pantas
jika Islam dituduh agama yang ekstrim dan radikal. Apalagi dengan mengatakan Al
Qur’an dan Nabi Muhammad sebagai inti dari semua teror.
Islam mengakui keberagaman ada, termasuk keberagaman
dalam agama. Dalam Islam seorang muslim dilarang memaksa orang lain untuk
meninggalkan agamanya dan masuk Islam dengan terpaksa, karena Allah telah
berfirman:
لا إكراه في الدين
(QS. Al Baqarah: 256)
Jika kita menilik kembali sejarah Islam, akan kita
dapatkan simahah al islam yang disana tidak ditemukan tentang adanya
hukuman mati atau sisksaan pada seseorang yang tidak mahu masuk Islam. Contoh
riilnya adalah bisa kita lihat bagaimana cara penyebaran Islam yang dilakukan
oleh wali songo rahimahumullah di Indonesia.
Sejarah telah mengabadikan kepemimpinan Rasulullah saw
dan sikap tasamuh beliau dalam memperlakukan penduduk Madinah yang
plural. Seperti yang tertulis dalam “Piagam Madinah” (shahifah madinah).
Diantara isi piagam disebutkan tentang adanya kesepakatan, bahwa jika ada
penyerangan terhadap kota Madinah atau penduduknya, maka semua ahlu
shahifah (yang terlibat dalam Piagam Madinah) wajib mempertahankan
dan menolong kota Madinah dan penduduknya tanpa melihat perbedaan agama
dan qabilah.
2. Batasan
toleransi dalam perspektif islam
Islam mengakui pluralitas agama, dan menghormati
pemeluk agama lain. Tapi bagaimana jika ada sebagian kelompok yang melecehkan
agama Islam atau aksi kemaksiatan yang jelas dilarang oleh agama? Apakah umat
Islam harus berpura-pura menutup mata dan telinga atas dasar toleransi?!
Seperti yang terjadi di masa sahabat, saat seorang
munafik yang bernama Musailah Al Kadzdzab (dan pengikutnya) mengaku bahwa
dirinya nabi setelah wafatnya Nabi Muhammad saw. Melihat hal tersebut para
sahabat tidak tinggal diam dan membiarkan pengikut Musailamah terus menyebarkan
ajaran sesatnya. Karena disitu ada mashlahah untuk menjaga agama (hifdz al din)
yang merupakan faktor dharury (primer) dalam kehidupan umat Islam. Allah telah berfirman dengan tegas dan jelas bahwa Nabi
Muhammad saw adalah penutup para Nabi dan tidak ada Nabi setelah Nabi Muhammad.
ما كان محمد أبا أحد من رجالكم ولكن رسول الله وخاتم النبيين وكان الله بكل
شيء عليما
“Muhammad
itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki diantara kamu, tetapi dia
adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui
segala sesuatu.”(QS. Al Ahzab: 40)
Toleransi
semacam ini jelas tidak dibenarkan dalam agama Islam. Karena seorang yang
mengaku muslim berarti meyakini dan bersakasi bahwa tidak ada Tuhan selain
Allah dan Nabi Muhammad saw adalah utusan Allah dan meyakini bahwa tidak ada
nabi setelah Nabi Muhammad saw.
3. Al Asas al
fikri li tasamuh al muslimin
Yusuf Qordhowi dalam kitabnya fi fiqh al aqliyat al
muslimah menyebutkan beberapa faktor toleransi muslim terhadap non-muslim:
Nilai kemanusiaan yang mulia.
ولقد كرمنا بني آدم
“Dan
sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam.”
(QS. Al
Isra’: 70)
Perbedaan yang dimuka bumi ini adalah sesuai dengan
kehendak Allah Sang Maha Pencita alam semesta dan isinya.
ولو شاء ربك لجعل الناس أمة واحدة ولا
يزالون مختلفين
“Jikalau
Tuhan-mu mengkehendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi
mereka senantiasa berselisih pendapat.”(QS. Hud:
118)
Perbedaan tersebut adalah menjadi pertanggung jawaban
antara dia dan Allah di akhirat nanti.
وإن جادلوك فقل الله أعلم بما تعملون
الله يحكم بينكم يوم القيامة فيما كنتم فيه تختلفون
“Dan jika
mereka membantah kamu, maka katakanlah, “Allah lebih mengetahui tentang apa
yang kamu kerjakan” Allah akan mengadilindiantara kamu pada hari kiamat tentang
apa yang kamu dahulu selalu berselisih”.(QS. Al
Hajj: 68-69)
Allah telah memerintahkan untuk berbuat adil dan
berakhlak mulia.
يا أيها الذين آمنوا كونوا قوامين لله
شهداء بالقسط ولا يجرمنكم شنآن قوم على ألا تعدلوا
“Hai
orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu
menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah
sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum mendorong kamu untuk berlaku
tidak adil.”(QS. Al Ma’idah: 8)
B.
SISTEM POLITIK DALAM ISLAM
Jika mengacu
kepada sejarah perpolitikan Islam terutama zaman klasik, bahkan hingga zaman
kontemporer ini, sebenarnya tidak ada pembakuan secara umum yang berlaku di
negara-negara yang memproklamirkan diri sebagai negara Islam.Alquran maupun
as-Sunnah tidak memberikan penjelasan yang mnendetail dan rinci mengenai sistem
politik. Sumber asasi di dalam Islam hanya memberi rambu-rambu yang amat
global, umpama Allah berfirman:
Artinya :
“ Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan
taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu
berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Quran) dan Rasul (sunnahnya).....(QS. An Nisa’ : 59).
Ayat ini secara
implisit menghendaki keberadaan:
1. Suatu negara
yang ada pemimpinnya
2. Rakyat yang
taat kepada pemimpin
3. Jika ada
pertentangan di antara kedua belah pihak hendaklah kembali kepada petunjuk
Alquran dan as-Sunnah
4. Tidak boleh
ada dominasi dari satu pihak kepada pihak yang lain. Jadi pemimpin mengayomi
rakyat dan rakyat taat kepada pemimpin.
Lanjutan ayat itu berbunyi:
Artinya :
“...jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang
demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya“.(QS. An
Nisa’ : 59).
Empat poin
dalam kandungan ayat ini adalah perwujudan iman. Implikasinya lebih jauh
adalah:
1.
Jika para pemimpin tidak mengayomi rakyat
2.
Jika rakyat tidak taat pemimpin atau pemerintah syah
jika ada perpebedaan prinsip antara rakyat dan pemerintah (pemimpin)
yang cara pemecahannya tidak dikembalikan menurut petunjuk Alquran maupun
as-Sunnah, maka mereka itu tidak termasuk orang beriman.
Kata ‘iman’
seakar kata dengan amin, artinya aman tidak ada gangguan dan ancaman.
Aplikasinya dalam kehidupan kenegaraan baik pemerintah maupun rakyat harus
bersama-sama menciptakan suasana aman atau kondusif sehingga kehidupan bersama
dalam berbagai bidang seperti: ekonomi, sosial, politik, dan yang lainnya
berjalan dengan lancar aman, tanpa rasa khawatir akan berbagai macam gangguan.
Siapapun
yang membuat gaduh atau kacau dalam suatu negara, dia itu bukan orang beriman.‘al-Amin’
juga berarti kuat dan setia, artinya sebagai warga negara harus setia terhadap
negara secara kuat (nasionalisme) yaitu cinta kepada negara (hub al-wathan)
sebagai bagian integral dari iman.
Siapapun
warga negara atau bada apapun dalam suatu negara seperti LSM (Lembaga Swadaya
Masyarakat) yang menjadi antek negara asing) dan menjual dokumen-dokumen
penting negaranya adalah bukan orang-orang beriman.Mereka amat berbahaya kerena
pada hakikatnya mereka itu adalah mesin pengkhianat negara.Sudah sepentasnya
jika keberadaan mereka harus dikikis habis tak bersisa.
Kata ‘iman
juga seakar kata dengan ‘amanah’ yang berarti dapat dipercaya.Kaitannya
dengan kenegaraan, baik pemerintah maupun rakyat harus saling dapat mempercayai
maupun dipercayai.Rakyat bersifat anarkhis dan pemerintah yang korup, jelas
masing-masing tidak dapat dipercaya atau mempercayai.Lebih dari itu mereka
sebenarnya tidak beriman. Suatu negara yang pejabatnya korup, mementingkan
kekayaan pribadi dengan cara menggerogoti kekayaan negara secara tidak syah,
negara ini disebut al-madinah alfasiqah, yaitu negeri yang rusak (Harun
Nasution, l981 : 33). Sementara itu, jika rakyat besifat anarkhis dan
mamaksakan kehendaknya sendiri sehingga negara itu menjadi semrawut,
para pemimpin hanya sibuk mengurusi demo-demo berkepanjangan sehingga tidak
bisa mengatur negara secara baik, negara ini disebut, al-madinah al-jama’ah.Negara
seperti ini semuanya ingin berkuasa.Al-madinah a-jama’iah adalah salah
satu bentuk dari negeri bodoh (almadinah al-jahilah) , yaitu negara baik
pemerintah maupun rakyatnya hanya berusaha memenuhi kebutuhan jasmani,
memperkaya diri, ambisi kekuasaan, dan mengumnbar hawa nafsu (Harun Nasution,
l981 : 33). Suatu bangsa yang bentuk negara dan sistem pemerintahannya
berttipologi al-madinah al-jami’ah maupun al-madinah al-jahilah
secara prinsip bangsa itu dapat dikatakan sebagai bangsa yang tidak beriman
karena tidak amanah.
Kata ‘iman’ seakar kata dengan al-amin
artinya tenteram, damai dan aman. Kaitannya dalam kehidupan bernegara, seluruh
rakyat maupun yang memangku jabatan kepemerintahan harus menciptakan
ketenteraman, kedamaian, dan keamanan baik dalam level indfividual, secara
batiniah maupun lahiriah, dan dalam level kehidupan bersama. Profokator dari
manapun asalnya apakah dari unsur pemerintah maupun rakyat yang menyulut
pertikaian antar golongan, antar kelompok, antara pemeluk agama, dan antar suku
adalah perbuatan yang tidak bertanggung jawab dan tidak beriman kepada Allah
maupun hari akhir. Kita semua harus mewaspadai para para politikus kotor maupun
kelompoknya sehingga ruang gerak mereka terbatas atau dinetralisir sama sekali.
Kata at-Ta’min
juga seakar kata dengan iman dan artinya gadai.Kaitannya dengan kehidupan
negara, setiap warga negara secara prinsip diri mereka masing-masing digadaikan
kepada negara, harus tunduk dan patuh kepada negara. Inilah yang dimaksud bahwa
proses terbentuknya suatu negara melalui social contract dan pemegang
kekuasaan disebut pemegang amanah dari rakyat.
Karena
begitu longgar petunjuk baik Alquran maupun as-Sunnah, maka aktualisasi politik
dari generasi ke generasi atau antara wilayah satu dengan wilayah lain di dunia
Islam cukup berfariatif dan lebih bersifat temporal menurut selera
masing-masing pendiri negara, umpama dalam dalam menunjuk dan mengangkat kepala
negara sebagai yang memerintah. Nabi Muhammad menjadi kepala negara di Madinah
terjadi secara otomatis sebagai akibat ditaati oleh setiap warga di Madinah dan
seluruh jazirah Arab. Abu Bakar as-Siddiq menggantikan posisi Nabi sebagai
pemimpin umat - bukan dalam arti nabi maupun rasul - dipilih secara kerakyatan
(Hasan, l968 : 34). Pengganti Abu Bakar adalah Umar bin Khattab menjadi
khalifah ditunjuk oleh oleh Abu Bakar kemudian disetujui oleh seluruh warganya
(Hasan, l968: 37). Usman bin ‘Affan menggantikan posisi Umar bin Khattab dengan
cara Umar bin Khattab menunjuk enam orang calon, satu diantaranya adalah Usman
bin ‘Affan sendiri, ia memenangkan dalam pemilihan yang kemudian membawanya
menjadi khalifah. Pengganti Usman bin ‘Affan adalah Ali bin Abi Thalib dengan
dipilih oleh mayoritas umat Islam. Ali bin Abi Thalib sebagaimana dua
pendahulunya terbunuh dalam insiden politik. Penggamnti Ali bin Abi Thalib
adalah Muawiyah bin Abu Sufyan dengan cara ayang amat licik, yaitu melalui
teknik tahkim (arbitrase) di Daumatul jandal.
Pihak Ali
bin Abi Thalib diwakili oleh Abu Musa al-Asy’ari dan pihak Muawiyah bin Abu
Sufyan diwakili oleh Amru bin ‘Aash. Keduanya bersepakat dalam sidang
menurunkan pemimpin masing-masing. Waktu itu Ali bin Abi Thalib sebagai
khalifah, semerntara Muawiyah hanya sebagai gubernur, bukan level khalifah. Abu
Musa diminta supaya berpidato yang pertama.Isi pidatonya menurunkan pemimpin
dari jabatannya masing-masing, dan aksi ini disetujui oleh seluruh anggota
sidang.
Sementara itu, Abu Musa al-Asy’ari
adalah seorang ulama yang tawadu’ dan wara’, dan amat kurang
berpengalaman dalam liku-liku politik kotor. Setelah ia turun dari mimbar Amru
bin ‘Ash gilirannya naik ke mimbar untuk berpidato. Isi pidato ada dua hal, (1)
menyetujui penurunan Ali bin Abu Thalib dari jabatan khalifah dan (2) mengangkat
Muawiyah bin Abu Sufyan sebagai khalifah dan langsung disambut sorak gempita
dari pendukungnya. Pada sat itu kelompok Ali bin Abu Thalib merasa - dan memang
benar-benar - ditipu oleh kelompok Muawiyah bin Abu Sufyan. Dengan demikian
Muawiyah bin Abu Sufyan menjadi khalifah dengan cara kudeta tak berdarah,
proses sebelumnya juga telah menumpahkan darah begitu banyak prajurit dari
masing-masing pihak. Sejak Muawiyah bin Abu Sufyan mengangkat putra mahkota,
maka sistem politik Islam, terutama bentuk negara menjadi sistem kerajaan atau
monarkhi (Hasan, 1968 : 54, 62, 66). Tetapi secara makro jika dibandingkan
dengan negara-negara lain seperti di Barat, dan Cina yang sama-sama berbentuk
kerajaan, Negara yang dipimpin oleh Muawiyah bin Abu Sufyan disebut sebagai
negara kerajaan Islam yang secara teknis disebut daulah atau khilafah
(kekhalifahan), yaitu Daulah Bani Umayyah. Kata Umayyah dinisbahkan dari kakek
Muawiyah.
Untuk
selanjutnya bentuk pemerintahan semacam itu berlaku di semua wilayah Islam.Bani
Umayyah tumbang digantikan oleh Bani Abbasiyah. Bersamaan dengan ini kerajaan
Bani Umayyah di Andalusia (Spanyol) didirikan oleh ketrurunan dari Muawiyyah
bin Abu Sufyan yang selamat dari pembumihangusan Abul Abbas Assafah(pendiri
Bani Abbasiah). Sesudah dua kerajaan raksasa ini tumbang muncullah berbagai
kerajaan di dunia Islam, seperti khilafah Bani Fatimiyah di Mesir(909-ll7l M),
Khilafah Bani al-Murabbitun di Afrika Utara (l056-ll45 M), Khilafah Mamalik di
Mesir maupun di Suriah (1250-1516 M), Khilafah Usmaniah di Turki (l299-l922 M),
Khilafah Mughaliah di India (l526-1858 M), dan masih banyak yang lainnya.
Pada abad l8
di Eropa muncdul konsep dan praktik politik yang disebut nasionalisme. Melalui
agitasi politik imperialisme (penjajahan) Barat ke seluruh wilayah di dunia,
termasuk dan khususnya di dunia Islam pada abad l9, nasionalisme menjadi konsep
politik universal (L.Stodart, l966 : l37). Sekarang ini tidak ada di manapun di
dunia yang tidak menganut paham nasionalisme, dan di sisi lain tidak bisa
keluar dari paham nasionalisme itu. Maka nasionalisme menjadi paham tunggal
hingga sekarang ini.Meskipun demikian, negara-negara yang akarnya kekhalifahan
tetap mengelaborasi prinsip-prinsip ajaran Islam dan nasionalisme yang wujud
akhirnya adalah nasionalisme yang dibedakan dari nasionalisme
sekuler.Sekularisme anti atau sekurang-kurangnya memisahkan dari urusan agama,
sementara nasionalisme Islam tidak demikian.Agama menjadi dasar dan sendi-sendi
praktik kenegaraan.
Elaborasi
anatara ajaran Islam dan nssionalisme Barat menghasilkan berbagai bentuk negara
Islam sesuai dengan akar sejarahnya dari masing-masing yang membentuk negara
yang bersangkutan.Saudi Arabia, bentuk negaranya kerajaan, tetapi mengaku
sebagai negara Islam.Iran berbentuk republik tetapi juga mengaku sebagai negara
Islam.Malaisia berbentuk serikat tetapi mengaku sebagai negara Islam. OIC (Organization
of the Islamic Conference) merupakan gabungan dari berbagai negara Islam
yang bertujuan melenyapkan pemisahan ras, diskriminasi, dan kolonialisme dalam segala
bentuk, juga bergerak di bidang ekonomi, sosial, budaya, ilmu pengetahuan, dan
kegiatan vital lainnya (Esposito,IV : 201) tidak mengusahakan keseragaman
bentuk negara. Urusan ini diserahkan kepada negara masing-masing anggota.
Indonesia secara formal mengaku sebagai negara pancasila, bukan negara Islam,
tetapi mayoritas penduduknya beragama Islam dan ikut sebagai anggota OIC.Oleh
karean aitu, kebijakan apapun yang mengabaikan kepentingan umat Islam di negeri
tercinta ini pasti menuai badai yang pada akhirnya akan merugikan negara itu
sendiri.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tidak ada pembakuan sistem
dalam Islam sehingga kepentingan umat Islam dalam membentuk negara menjadi
kebebasan mereka,boleh mengambil bentuk negara kerajaan, republik, negara
serikat, atau yang lainnya selagi prinsip-prinsip Islam tentang kehidupan
bersama ditegakkan untuk kemaslahatan dan kemakmuran bersama (pemerintah dan
rakyat).
C. UPAYA DALAM MEWUJUDKAN PERSATUAN UMAT
1. Untuk
mewujudkan persatuan masyarakat yang majemuk seperti di Indonesia, perlu adanya
kerja sama antara pemimpin dan rakyat. Jargon demokrasi yang dari rakyat, oleh
rakyat dan untuk rakyat butuh pembuktian yang nyata dalam menjaga keamanan dan
ketenangan bagi setiap umat beragama, dan tegas dalam mengambil keputusan jika
ada yang meresahkan rakyat setempat.
2.
Peduli kepada sesama tanpa melihat
suku, ras, budaya, dan agama dengan saling menghormati dan menghargai perbedaan
masing-masing.
3.
Cinta tanah air dengan bangga
menjadi warga Negara Indonesia, bangga terhadap budaya Indonesia dan dengan
cara menerapakan bahwa negara kita adalah negara yang paling istimewa.
4.
Terutama peran pemuda sangatlah
penting dalam upaya pembangunan persatuan umat, karena mereka merupakan calon
pemimpin dan generasi penerus bangsa kita. Nasib umat ada ditangan mereka,
negara bisa maju jika pemudanya juga maju dan begitu juga sebaliknya.
5.
Melahirkan kembali semangat
nasionalisme dengan mempelajari kembali perjuangan para pejuang dahulu yang
telah berkorban jiwa dan raganya untuk kemerdekaan Indonesia.
6.
Bertanya kepada diri sendiri, apa
yang telah kita lakukan untuk Negara? Sumbangsih apa yang telah kita berikan
kepada tanah air tercinta?
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Islam
mengakui perbedaan dan keberagman dengan adanya konsep toleransi terhadap
kebebasan beragama, namun tetap dalam koridor batasan toleransi yang
diperbolehkan dalam ajaran Islam. Ini jelas tidak seperti apa yang diyakini
oleh musuh Islam dalam mengklaim dan menuduh Islam agama yang intoleransi.
Sekularisme
yang aktif mengampanyekan solusi hidup yang menjanjikan kemajuan Negara,
nyatanya gagal di terapkan dalam kehidupan manusia. Seperti pemerintahn Negara
Turki saat dipegang oleh Mustafa Kemal yang ikut mendukung dalam menyebarkan
sekularisme untuk kemajuan Negara.
Sebaliknya,
jika kita mempelajari dan mendalami Islam, kita akan mengetahui bahwa Islam
adalah agama yang washat (moderat), dalam artian Islam menjaga agar tidak
condong terhadap salah satu dari dua perkara antara al ghuluw (berlebih-lebihan
atau kebablasan) dan al taqshir (mengabaikan). Seperti yang dilakukan
sebagian kelompok yang kebablasan dalam menafsirkan ayat Al Quran dan
mengabaikan sebagian nash yang termaktub dalam Al Quran berdasarkan
pemahaman akal manusia yang berbeda-beda. Seperti halnya metode tafsir
hermeneutika.
B.
Saran
Setelah membaca makalah tentang Peranan Islam dalam Mewujudkan Persatuan
dan Kesatuan Bangsa, kami harapkan makalah ini dapat dipahami dan dapat
bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar